Oleh: Johanzen Patrick Yolmen

Karikatur, orang Papua disiksa tentara Indonesia.
Dibalik video yang viral, peristiwa rasis dengan berbagai bentuk ucapan verbal dan tindakan tidak manusiawi yang dialami orang Papua, ada anggapan bahwa itu adalah normal. Hal itu dianggap normal sebab manusia Papua telah lebih dahulu dianggap sebagai manusia setengah binatang.
Hanya binatang yang selalu diberi kekerasan karena mungkin secara insting menolak untuk tunduk pada kepentingan manusia. Ini logika yang sama digunakan terhadap manusia Papua. Dari sini kita tahu mengapa ungkapan “monyet” sering digunakan sebagai kesimpulan atas segala sesuatu yang ada di dalam diri manusia Papua.
Sebab orang Papua dianggap manusia tetapi tidak sepenuhnya manusia. Dianggap binatang tetapi tidak sepenuhnya binatang. Maka untuk mengungkapkan persepsi itu digunakanlah kata “monyet” sebagai ungkapan kepada orang Papua. Karena monyet dianggap sebagai hewan setengah manusia. Ungkapan ini memang umum di situasi penjajahan dimanapun itu.
Kekerasan di Papua
Sebelum kekerasan pada 21 Maret 2024, kita melihat berita terkait tewasnya beberapa anggota aparat keamanan. Penulis senang sebab banyak dari kita mulai merasa bahwa kekerasan adalah hal yang seharusnya tidak diwajarkan. Kekerasan mungkin menghentikan masalah, tetapi itu hanya bersifat sementara. Reaksi membalas kekerasan dengan kekerasan yang terjadi hari-hari ini adalah bagian daripada aksi kekerasan sebelumnya. Situasi yang buruk untuk dianggap normal, baik-baik saja soal orang Papua di atas tanahnya.
Keadaan normal ialah situasi di mana suatu peristiwa terjadi secara terus menerus dibandingkan peristiwa kontra. Apa maksudnya? Kita melihat metode kekerasan lebih sering digunakan terhadap orang Papua secara militeristik, dibandingkan metode persuasif seperti dialog setara sesama manusia. Maka kita akan anggap kekerasan militeristik adalah hal yang normal sebagai metode penyelesaian masalah atas manusia dan tanah Papua.
Sebaliknya, jika kita sering melihat metode persuasif, seperti dialog setara sesama manusia, maka kita akan anggap kekerasan militeristik adalah hal yang tidak normal sebagai metode penyelesaian masalah atas manusia dan tanah Papua.
Suatu bangsa bisa dan berpotensi bangkit melawan karena bangsa itu merasa bahwa situasi di bawah pendudukan kolonial adalah sesuatu yang tidak wajar, tidak normal. Ia merupakan situasi kontradiktif. Kontradiksi, situasi di mana manusia atau suatu komunitas merasa bahwa apa yang terjadi dalam seluruh sistem hidupnya tidak berjalan normal dan bertentangan.
Contohnya, jika kita merasa bahwa normal untuk orang Papua dibunuh, mendapat perlakuan rasis, direbut hak-hak politiknya, maka situasi kontradiktif adalah situasi di mana hal-hal yang disebutkan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran peradaban. Kita tidak lahir untuk mati di tangan manusia lain, kita tidak hidup untuk menerima perlakuan diskriminasi ras, kita tidak hidup untuk menerima mentah-mentah bahwa hak politik kita direbut. Dari sini kita tahu bahwa tugas dari orang-orang terdidik adalah menghadirkan situasi kontradiktif.
Bahwasannya penjajah harus sadar bahwa apa yang mereka lakukan adalah tidak normal dan tidak wajar. Sementara itu, terjajah harus sadar bahwa apa yang mereka terima adalah tidak normal dan tidak wajar.
Maka, penting untuk mendidik semesta rakyat. Antara masyarakat pendatang dan pribumi bahwa situasi di atas tanah Papua adalah tidak wajar. Pendatang adalah mereka yang kebanyakan saudara-saudara kita yang tidak menyadari bahwa situasi penindasan terhadap orang Papua itu tidak normal. Pribumi juga demikian tidak sadarnya, bahwa mereka mengalami situasi penindasan ini tidak wajar juga.
Anak Muda Papua
Tugas kita sebagai generasi manusia Papua, baik yang lahir besar, asli pribumi atau para pemerhati hak asasi manusia (HAM) untuk menjelaskan secara dialektis bahwa sekali lagi ini tidak normal soal orang Papua yang mati seperti binatang dan terusir dari tanah leluhur.
Banyak orang juga menganggap bahwa kematian aparat keamanan di atas tanah Papua adalah wajar. Kasihan sekali, tanah kami dianggap wajar untuk jadi lahan pertumpahan darah anak-anak manusia.
Mereka yang berkonflik, aparat negara dan para pejuang kemerdekaan adalah anak-anak manusia yang perlu dan berhak untuk tetap hidup. Mayoritas kita (masyarakat Indonesia) menormalkan itu, miris sekali. Kita memberi legitimasi normatif atas kematian mereka.
Mereka yang menganggap kematian Orang Papua dan juga aparat keamanan sebagai situasi yang wajar adalah Biadab. Seakan-akan aparat keamanan dan manusia Papua adalah manusia setengah binatang yang boleh saling membunuh! biadab sekali!
Sangat disayangkan adalah kedua belah pihak yang berkonflik secara terbuka dalam kontak senjata juga ada yang orang Papua. Situasi yang lebih eksplisit dimana orang Papua saling membunuh di atas tanahnya sendiri. Saya yakin para leluhur dari tujuh wilayah adat saling berpelukan, saling memberi tangisan, situasi generasi penerus mereka adalah memprihatinkan. Mereka mungkin menyesali mewarisi tanah air yang kaya raya, atau mewarisi kondisi biologis mereka sebagai hitam kulit keriting rambut. Sebab tanah air yang kaya raya, dan identitas hitam kulit keriting rambut telah menghadirkan situasi berdarah di atas tanah Papua sampai hari ini.
Video viral penyiksaan tersebut adalah momentum bagi semua pihak bahwa situasi Papua adalah tidak normal, tidak wajar dan tidak manusiawi. Setelah ini kita perlu memperlihatkan sensitivitas kita sebagai manusia Papua dan makhluk Tuhan bahwa orang asli Papua dan orang non-Papua berhak hidup damai di atas tanah Papua dengan landasan kemanusiaan dan penghormatan terhadap hak kesulungan orang asli Papua.