Oleh: Yokbeth Fele
Namanya Usilina Epa, perempuan kelahiran 25 Agustus 1986 di Jayapura.
Ulin adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adiknya perempuan. Orang tua Ulin berasal dari Sentani. Ayah Ulin berasal dari Kampung Ayapo dan Ibunya berasal dari Kampung Waena.
Ulin menamatkan S1-nya dari jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjajaran pada tahun 2010. Lalu melanjutkan S2 pada Master in International Relations & Development Studies di University of New South Wales, Sydney, Australia.
Ulin pernah terlibat dalam banyak kerja-kerja bersama beberapa NGO dalam Program Ekonomi Hijau dan Program Gender. Ulin juga sempat mengajar pada Program Studi Hubungan Internasional di Universitas Cenderawasih dan Universitas Sains dan Teknologi (USTJ).
Ulin telah menikah. Suaminya bernama Fredik Bartholomeus. Ulin menyebutnya Partner yang Setara sebab bersama suaminya, Ulin merasa ide-idenya bisa diterjemahkan dan dirayakan.
Mereka bekerja bersama menjalankan usaha kuliner dengan bahan pangan lokal. Usaha ini dimulai sejak tanggal 29 Mei 2017 saat mereka membangun Sundshine Cafe and Library di Prunas 2 Waena, Jayapura. Sebelumnya mereka telah mencoba berbagai usaha dari kios, bisnis travel , hingga Dapur Mama yang menjadi usaha kuliner pertama yang dibuka oleh Ulin.
Menariknya bangunan ruko yang digunakan Ulin untuk membuka Cafe berada di atas tanahnya. Ruko yang dibangun adalah upaya untuk ‘menunjukkan diri’ sebagai orang Waena yang ingin mempertahankan tanahnya.
Dalam berbagai kesempatan, Ulin selalu memilih mengidentifikasi dirinya sebagai tukang kebun dan tukang masak. Ia memiliki kebun dengan menanam banyak jenis pisang, umbi-umbian, buah-buahan, bumbu dapur, tanaman herbal dan sayuran.
Ulin memiliki platform instagram yang digunakan untuk menunjukkan hasil kebunnya, seperti @kebunhalamanulin dan akun pribadinya.
Banyak nilai hidup yang dipelajari Ulin lewat tanaman yang ditanamnya, seperti filosofi ganemo yang ditulisnya.
“Proses tanam genemo ini mengingatkan saya bahwa tidak semua hal bisa berkembang dengan cepat dan tampak jelas pada awalnya. Hanya karena tidak ada tanda-tanda kehidupan bukan berarti tidak tumbuh. Hanya karena butuh waktu lebih lama untuk terlihat tumbuh bukan berarti tidak bisa jadi besar dan gagah seperti pohon genemo.” – Tulisnya pada tanggal 11 November 2024.
Isasai Resto dan Dekolonisasi Pangan
5 Tahun setelah kehadiran Sundshine Cafe and Library, Ulin dan Fredik akhirnya membuka Isasai Resto pada tanggal 29 Mei 2022 di Jln. Gelanggang Expo, Waena, Jayapura.
Isasai adalah nama dari Kali (Sungai) tempat Resto Isasai berdiri. Dahulu Kali Isasai adalah tempat orang Sentani di Kampung Waena mencari ikan. Tempat ini juga merupakan milik keluarga Ulin.
Cerita Ulin mengolah Isasai Resto berawal dari ketidaksengajaan orang tua Ulin yang ingin memiliki pondok untuk memelihara ikan. Ayah Ulin yang waktu itu masih menjadi PNS selalu membeli kayu dan menyimpannya di dalam air. Hal ini dilakukan agar kayu tetap kuat.
Suatu waktu ayah Ulin meminta orang mengerjakan tempat itu dan tanpa disadari ternyata tempat yang dibangun sangat besar, sontak hal ini membuat bingung keluarga Ulin, termasuk Ayah Ulin.
Ulin akhirnya memikirkan cara untuk membantu ayahnya hingga terbesit rencana membangun Isasai Resto. Ulin melanjutkan untuk mendesain Isasai Resto sembari mengisi interior, hingga akhirnya Isasai Resto bisa berdiri seperti saat ini dan Ayah Ulin tetap memiliki tempat untuk memelihara ikan tepat di dalam Resto Isasai.
Selain ikan yang masih hidup, terdapat Galeri Penghuni Danau Sentani yang dikerjakan oleh keluarga Ulin. Galeri ini berisi lukisan ikan-ikan endemik dari Sentani, seperti gabus hitam, heuw, gastor, hingga ikan Yowi/kakap danau yang telah hilang dari Danau Sentani karena kerusakan air Danau.
Isasai Resto pun menjadi ruang bagi Ulin untuk mulai memperkenalkan makanan khas Sentani, seperti Kha Ebehele (Ikan Gabus Kuah Hitam) yang dimasak menggunakan Belanga Tanah (Ebehele) dengan cara di presto secara tradisional. Presto adalah metode memasak yang telah lama dikenal oleh masyarakat Sentani.
Lewat Isasai Ulin pun berkenalan dengan kekayaan pangan di Sentani, seperti 23 jenis pisang yang ada di Sentani, 4 jenis Umbi Yhara/umbi Uwi, hingga berkenalan dengan Umbi Porang atau yang disebut Moli, salah satu umbi asli yang telah hilang di Sentani.
Dengan mendekatkan diri pada tanah dan pangan lokal, Ulin juga mulai memikirkan tentang metode bertanam yang tepat.
Menurut Ulin sistem pertanian monokultur yang banyak dipakai tidak sesuai dengan metode bertanam masyarakat adat yang umumnya selalu polikultur.
Ulin akhirnya mulai mempelajari metode bertanam masyarakat adat Sentani di Kampungnya Ayapo yang bergantung pada matahari. Jika matahari bergeser sedikit ke arah utara dan berada di atas Gunung Welyo di Waena, masyarakat akan membersihkan dan menyiapkan lahan kebun baru dan jika matahari telah berada di atas Gunung Umabo Kampung Ayapo artinya sudah masuk musim penghujan dan masyarakat harus menanam tanaman di Kebun.
“Kita sama-sama belajar mengapa kita perlu melihat kembali ke dalam kampung, mendengar kembali dari orangtua, hingga mendapatkan pengetahuan tentang kearifan lokal.” – tutur Ulin.
Ulin berupaya memutuskan ketergantungan terhadap perusahaan pupuk dengan menghilangkan penggunaan pupuk dan pestisida, ia kembali pada metode berkebun yang dimiliki oleh masyarakat adat di Sentani.
Ulin membagi perbedaan antara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Menurutnya ketahanan pangan adalah kemampuan untuk memastikan akses jangka panjang terhadap makanan yang cukup, bergizi dan aman. Ketahanan pangan lebih berfokus pada aksesibilitas, penggunaan dan stabilitas pangan. Dari mana asal usul pangan tidak menjadi penting dalam konsep ketahanan pangan. Sementara konsep kedaulatan pangan dalam pandangan Ulin adalah hak masyarakat untuk mengendalikan sumber daya alam mereka dan memutuskan sistem produksi pangan apa yang harus mereka tanam dan bagaimana mereka mengkonsumsinya.
Kedaulatan pangan bagi Ulin selalu berfokus pada hak dan kontrol masyarakat dan dalam hal ini asal usul pangan menjadi sangat penting, berbeda dengan ketahanan pangan.
Dasar dari kedaulatan pangan bagi Ulin adalah kedaulatan bibit, terutama bibit lokal yang dapat diperbanyak oleh masyarakat. Ini berbeda dengan bibit hibrida dan bibit GMO dari perusahaan yang telah dikomersialisasi dan dibuat hanya untuk sekali tanam, tahan penyakit, tetapi tidak bisa diperbanyak. Bagi Ulin masyarakat memiliki pengetahuan untuk memperbanyak bibit lokal.
Ulin juga mengkurasi bibit-bibit pisang yang asli dan membagikannya untuk ditanam kembali sebab meski jumlah pisang di Sentani mencapai 20an, kita hanya bisa menemukan sampai 6 jenis pisang di Pasar. Pengetahuan tentang pisang dengan nama asli dalam bahasa Sentani pun perlahan menjadi samar-samar di Sentani.
“Gastro Kolonialisme adalah bentuk penjajahan karena ada kontrol dan dominasi terhadap sistem pangan masyarakat seperti di Jayapura dan banyak daerah. Dekolonisasi pangan berarti merebut kembali sistem pangan masyarakat yang mulai terpinggirkan bahkan hilang.”
– Ucap Ulin.
Lewat Isasai Resto Ulin berupaya mendekolonisasi metode berkebun, cara memasak/mengelolah makanan, dan berupaya melakukan counter narasi terhadap hegemoni pangan dan bibit dari luar.
Harus Anak Papua
“Kaka Permisi katanya disini terima anak Papua kah?”
Pertanyaan ini berasal dari seorang anak muda Papua yang mencari pekerjaan di Cafe milik Ulin. Bagi Ulin itu bukanlah pertanyaan yang harus didengar dari anak-anak Papua di Tanah mereka ketika mereka mencari pekerjaan.
Ditempatnya, Ulin hanya mempekerjakan anak-anak Papua dan 99% anak-anak yang datang belum memiliki pengalaman bekerja dan pekerjaan di tempat Ulin adalah pekerjaan pertama bagi mereka.
Tidak ada syarat khusus untuk bekerja. Ada yang hanya memiliki ijazah SMP dan SMA. Ada yang masih malu-malu dan merasa takut ketika melayani. Bahkan banyak juga yang belum bisa memasak, tetapi bisa bekerja. Biasanya bagi para pekerja yang belum bisa memasak, ada proses pendampingan yang dilakukan oleh Ulin.
Ulin memiliki 14 orang yang membantunya untuk mengurus dua dapur miliknya.
“Saya butuh mereka mengerti apa yang saya kerjakan. Saya punya makanan adalah saya punya tanggung jawab, tidak bisa pikir dan harapkan orang untuk lestarikan ketong (kami) punya makanan karena itu bukan dong (mereka) punya makanan. Kita ingin orang mengenal makanan dan identitas kita, tetapi kita butuh banyak anak Papua untuk bangga berdiri dengan dirinya.” Ucap Ulin.
Bagi Ulin kepercayaan diri dalam bekerja, mentalitas bahwa semua hal bisa dipelajari, pengalaman kerja dan pengetahuan tentang makanan adalah hal-hal yang ingin diteruskan pada anak-anak Papua.
Dengan memperkerjakan anak-anak Papua Ulin ingin menunjukkan bahwa anak-anak Papua adalah anak-anak yang dilatih melalui praktek bukan dengan membaca dan mengikuti resep. Ulin percaya mereka memiliki pengetahuan dan Ulin memberikan kesempatan pada mereka.
“Jadi kalau ada anak-anak Papua yang tidak percaya diri, ragu-ragu, takut, kami merasa bahwa kalian datang karena kalau kalian punya skill, tidak ada alasan kam canggung. Itulah kenapa kami ingin anak-anak Papua, kami mau mereka punya pengalaman positif di pekerjaan pertama dengan orang dan dengan dong punya identitas dan akar.”
Di Cafe Sundshine dan Isasai Resto Skill anak-anak Papua dapat ditempah oleh Ulin sebab Isasai dan Sundshine diharapkan dapat menjadi rumah bersama bagi anak Papua.
Meskipun banyak tantangan dalam memanage manusia yang berbeda karakter, usia, dan pengalaman, tetapi Ulin tetap bersabar mengerjakannya sebab baginya yang terpenting adalah anak-anak Papua harus memiliki pengalaman kerja agar mereka bisa percaya diri untuk mencari pekerjaan di tempat lain.