Penjajahan adalah Akar, Rasisme adalah Imbasnya (Bagian 1)


Oleh Zaqarias Tabuni, Suara Papua – 6 Nov 2019

Rasisme dan Papua: Dua Pandangan Orang Indonesia terhadap Papua

Dalam melihat kondisi Papua, terdapat dua pandangan yang sangat berbeda dalam masyarakat Indonesia. Pandangan-pandangan ini menggambarkan cara kita memandang orang Papua, yang sering kali terbelah antara sikap empati dan pandangan yang merendahkan.

1. Pandangan yang Menghargai Martabat Manusia

Pandangan pertama datang dari mereka yang menghargai martabat manusia dan melihat orang Papua sebagai sesama manusia yang sederajat. Orang-orang ini berupaya terlibat langsung dalam membantu, memperjuangkan, dan membimbing masyarakat Papua. Mereka bisa berasal dari berbagai kalangan, baik individu maupun lembaga, yang dengan sukarela terlibat dalam perjuangan untuk hak-hak orang Papua. Beberapa contoh tokoh dan kelompok yang terlibat dalam perjuangan ini antara lain Dayu dengan “Buku untuk Papua”, Veronica Koman dalam pembelaan hukum, serta gerakan solidaritas seperti FRI-WP, Pembebasan, dan lembaga internasional seperti Amnesty International dan LIPI yang secara aktif menyuarakan masalah Papua.

2. Pandangan yang Merendahkan Martabat Orang Papua

Di sisi lain, terdapat pandangan yang lebih merendahkan. Banyak orang yang tidak terlibat dalam masalah Papua, bahkan ada yang pura-pura terlibat demi keuntungan pribadi, seperti memperoleh gelar atau memenuhi syarat untuk sebuah acara. Tidak hanya orang Papua yang merasa dampaknya, namun juga masyarakat Indonesia pada umumnya yang cenderung mengabaikan penderitaan orang Papua. Dalam beberapa kasus, ada pula kelompok yang memanfaatkan situasi Papua untuk kepentingan politik atau ekonomi, seperti mendirikan ormas-ormas yang menghambat kemajuan orang Papua. Ini adalah bentuk diskriminasi yang merendahkan martabat mereka dan membentuk ‘neurosis kolektif’ (kesadaran bersama) di masyarakat Indonesia, yang melihat orang Papua melalui kaca mata perendahan.

Masalah Utama Papua: Perendahan Martabat

Masalah mendalam yang dihadapi Papua adalah perendahan martabat orang Papua. Seperti yang diungkapkan oleh Pdt. Dr. Benny Giyai, orang Papua sering dipandang sebagai manusia kelas dua. Namun, pandangan ini lebih dari sekadar penghinaan verbal. Orang Papua tidak hanya dihina, mereka juga menghadapi kematian yang terjadi setiap hari—baik melalui peredaran minuman keras yang dibiarkan bebas, keracunan makanan, obat kadaluarsa di rumah sakit, hingga penembakan brutal oleh aparat keamanan. Kasus-kasus ini seringkali ditutup dengan impunitas, yang semakin memperburuk situasi mereka.

Pandangan seperti ini tidak hanya menunjukkan penghinaan sosial, tetapi juga mencerminkan bentuk kolonialisme. Kolonialisme ini tidak hanya ada dalam sikap menghina, tetapi juga dalam kekerasan yang dihadapi orang Papua setiap hari.

Mengarah ke Genosida: Konflik yang Menguatkan Pembentukan Kelompok Anti-Papua

Lebih lanjut, ada tanda-tanda bahwa Papua sedang memasuki tahapan genosida. Ini terlihat dari semakin meningkatnya pembentukan kelompok yang bertentangan, baik yang pro-Papua maupun yang anti-Papua. Kelompok anti-Papua ini semakin kuat, baik yang berasal dari orang Papua sendiri maupun yang datang dari luar. Ormas-ormas yang terbentuk, baik dari pihak luar maupun dalam Papua, memanfaatkan situasi untuk kepentingan tertentu, bahkan dengan menyediakan senjata untuk membunuh orang Papua sendiri. Keadaan ini bisa dilihat dari beberapa peristiwa kekerasan, seperti penembakan di Deiyai, konflik horizontal di Jayapura, dan kerusuhan pasca-rasialisme di Surabaya yang turut menyulut ketegangan di Papua.

Selain itu, ada juga peredaran senjata yang masif di Papua, yang baru-baru ini tertangkap di Timika. Senjata-senjata ini tidak hanya dijual kepada kelompok separatis, tetapi juga kepada masyarakat sipil yang mampu membeli. Beberapa kasus menunjukkan bahwa oknum-oknum militer terlibat dalam perdagangan senjata ini.

Pembunuhan Terhadap Tokoh Papua dan Penghilangan Hak Hidup

Perendahan martabat terhadap orang Papua sangat jelas terlihat dalam tindakan kekerasan yang mereka alami. Tidak hanya penembakan oleh aparat, tetapi juga pembunuhan terhadap tokoh-tokoh penting yang memperjuangkan hak-hak orang Papua, seperti Agus Alua, Pastor Nato Gobai, dan Pater Neles Tebay. Pembunuhan terhadap tokoh-tokoh ini sering kali disertai dengan laporan medis yang tidak masuk akal, yang mengaburkan penyebab kematian mereka. Hal yang sama terjadi pada aktivis dan jurnalis yang berjuang untuk Papua, seperti Veronica Koman, yang sering kali mengalami kriminalisasi dan teror.

Selain itu, beberapa orang Papua juga mengalami kematian yang mencurigakan melalui tabrak lari, yang sering kali diduga sebagai tindakan yang disengaja untuk menghilangkan mereka. Sayangnya, banyak dari kasus-kasus ini yang tidak pernah diinvestigasi secara serius, sehingga semakin memperburuk ketidakadilan yang terjadi.

Ketakutan Kolektif dan Penutupan Ruang Empati

Ketakutan kolektif yang dibentuk oleh negara menjadi senjata ampuh untuk menekan empati terhadap orang Papua. Ketakutan ini tercermin dalam cara negara menanggapi perjuangan orang Papua, dengan tindakan kriminalisasi terhadap aktivis dan jurnalis yang mengungkapkan kebenaran. Hal ini menciptakan ruang yang tertutup untuk investigasi dan memperparah kesulitan dalam memperjuangkan hak-hak orang Papua.

Namun, munculnya tokoh seperti Veronica Koman menunjukkan bahwa ketakutan ini bisa dilawan. Tindakan ini memberikan harapan bagi orang-orang yang ingin melihat penderitaan orang Papua dihargai dan diperjuangkan secara lebih serius. Diharapkan semakin banyak orang yang mulai membuka mata dan merasakan empati terhadap penderitaan orang Papua.

Kesimpulan: Tatapan Penjajah terhadap Orang Papua

Tatapan perendahan terhadap orang Papua telah mendarah daging di masyarakat Indonesia. Perasaan empati terhadap mereka semakin hilang, digantikan oleh pandangan yang melihat orang Papua sebagai objek untuk kepentingan ekonomi dan politik. Pandangan ini adalah warisan dari penjajahan yang terus berlanjut hingga kini, yang disebut oleh Frantz Fanon sebagai “tatapan penjajah.” Pandangan ini menganggap orang Papua hanya sebagai alat untuk menguasai kekayaan alam mereka, tanpa memperhatikan hak hidup dan martabat mereka sebagai manusia.

***

Tulisan ini sebelumnya dimuat di suarapapua.com dan diposting ulang atas ijin penulis.

More From Author

Kolonialisme Berganda: Su Rebut Luring, Skarang Dong Rebut Daring Lagi

Cover Buku Orang Hubula (Sumber: Kompas.id)

Refleksi Membaca Buku Orang Hubula: Papua Sebatas Narasi