Oleh Mace Teluk

(Sumber gambar: ChatGPT)
Di era digital saat ini, menjadi konten kreator bukan sekadar berbagi informasi atau hiburan, tapi juga menyampaikan pesan sosial yang kuat. Sayangnya, semakin banyak konten yang menjual penderitaan demi popularitas—khususnya yang melibatkan masyarakat Papua. Fenomena ini tidak hanya menyedihkan, tetapi juga memperkuat stigma negatif terhadap orang Papua sebagai masyarakat tertinggal dan miskin.
Berbagai konten di media sosial menunjukkan para kreator tampil sebagai “penolong” atau “malaikat dermawan” di pedalaman Papua. Mereka datang dengan kamera, membawa makanan, minuman, atau kebutuhan pokok, lalu menampilkan aksi kebaikannya kepada publik. Seolah-olah mereka adalah penyelamat bagi orang-orang Papua yang digambarkan hidup dalam keterbatasan.
Salah satu contohnya adalah konten “Kuali Nusantara” oleh Bobon Santoso. Kuali nusantara menampilkan aksi memasak dan dibagikan-bagikan. Ada salah satu aksi yang dilakukannya di pedalaman Papua yakni memasak daging sapi dan membagikannya pada masyarakat pedalaman Papua. Mas Bobon sangat terharu ketika diwawancarai oleh Deddy Corbuzier ketika menceritakan kembali pengalamannya itu. Ia menangis haru karena mengetahui mereka (orang Papua) belum pernah mencicipi daging sapi.
Air mata Bobon bukan sekadar ekspresi—ia berubah jadi komoditas. Keharuan itu laku. Klik! Tonton! Bagikan! Lalu siapa yang benar-benar dilihat? Bukan orang Papua sebagai manusia bermartabat, tapi sebagai objek eksotis: lapar, polos, ‘belum pernah makan sapi’. Ini bukan tentang daging. Ini tentang bagaimana kemiskinan dijadikan narasi. Tentang bagaimana sebuah budaya kaya dipangkas jadi klip haru berdurasi beberapa menit. Dan saat kamera berhenti merekam, siapa yang kembali lapar? Siapa yang tetap miskin? Siapa yang pergi membawa cuan dan siapa yang ditinggalkan dengan harga diri yang tergadaikan?”
Saya bertanya—benarkah itu empati? Atau hanya konten yang menjual air mata atas nama kemiskinan? Mengapa manusia Papua harus dijadikan tontonan haru? Mengapa budaya kami dipotong hanya jadi satu frame: lapar, miskin, dan terbelakang?” Apakah kami sedang dibantu atau justru penderitaan kami sedang dinikmati dibungkus sinematik? Apa yang sebenarnya ditangisi di sini? Ketidakadilan? Atau kepuasan melihat potret ‘keterbelakangan’ yang dijual rapi dalam bingkai konten digital?
Empati sejati tak butuh panggung. Air mata tak selalu berarti kemanusiaan. Kadang, itu hanya bagian dari strategi produksi.
Aksi konten yang serupa dilakukan oleh seorang perawat bernama Wike Afrilia. Dia seorang konten kreator yang dikenal karena aktivitasnya berbagi bantuan di pedalaman Papua. Ia sering membagikan sembako dan kebutuhan pokok kepada masyarakat setempat. Kadang juga dia menukarkannya dengan hasil kebun yang mereka bawakan. Dia mendokumentasikan momen tersebut dan mempublishnya di akun Tiktok, Youtube dan Instagramnya.
Tak hanya masyarakat sipil. Beberapa aparat keamanan di pedalaman Papua juga membuat konten serupa di akun short video youtube mereka. Salah satunya, pemilik akun tiktok @Jackgerr.
Komentar-komentar penonton pun menunjukkan beberapa tanggapan yang bias dan merendahkan. “Kasihan orang Papua, tanahnya kaya tapi tetap miskin,” atau “Tanpa pendatang, orang Papua tidak bisa hidup.”
Narasi-narasi seperti ini lahir dari tontonan yang tampaknya menginspirasi, namun secara tidak langsung memposisikan orang Papua sebagai kelompok pasif yang hanya menerima bantuan. Bukan sebagai manusia yang mandiri dan bermartabat.
Menurut Kaskure dan Krivorotko (2014), salah satu cara paling ampuh untuk menarik simpati publik adalah dengan menampilkan perbedaan sosial-rasial yang mencolok. Strategi ini dikenal dengan istilah poverty porn—eksploitasi kemiskinan demi menaikkan engagement (Interaksi) konten. Engagement konten adalah tingkat interaksi audiens dengan suatu konten di media sosial atau platform digital. Interaksi ini bisa berupa likes, komentar, berbagi (share), menyimpan (save), atau bahkan klik pada suatu postingan. Semakin tinggi interaksi, semakin besar kemungkinan konten tersebut menjangkau lebih banyak orang dan menjadi viral. Interaksi juga menjadi indikator seberapa menarik atau relevan suatu konten bagi audiens.
Semakin “kasihan” objek yang ditampilkan, semakin besar pujian dan donasi yang diterima kreator-nya. Ironisnya, yang menjadi korban disini adalah citra manusia Papua itu sendiri.
Pertanyaannya: apakah layak menjadikan kesusahan orang lain sebagai bahan konten? Apakah etis menampilkan seseorang atau kelompok orang tertentu yang tidak mengetahui bahwa mereka sedang dijadikan alat dalam narasi filantropi yang menyepelekan harkat manusia?
Narasi filantropi merupakan cara penyampaian atau penceritaan tentang tindakan kedermawanan dan bantuan sosial yang dilakukan oleh individu, organisasi, atau perusahaan. Narasi ini sering digunakan untuk membangun citra positif, menginspirasi orang lain untuk berbuat baik, atau menunjukkan kepedulian terhadap isu sosial tertentu. Narasi filantropi yang mengeksploitasi kemiskinan demi interaksi digital merupakan bentuk poverty porn, di mana penderitaan ditampilkan secara dramatis tanpa konteks yang mendalam, hanya untuk menarik simpati dan keuntungan tanpa memperhitungkan martabat manusia. Kemiskinan bukan panggung, dan manusia bukan objek tontonan—aksi sosial yang bermakna harus memberdayakan, bukan merendahkan.
Sebagai orang Papua, saya tidak menolak aksi kebaikan. Namun saya menolak ketika kebaikan itu dijadikan tontonan yang menyinggung martabat seseorang atau kelompok orang tertentu. Saya percaya bahwa nilai tertinggi dari kedermawanan adalah memberi dalam diam, sebagaimana dikatakan Carol Ryrie Brink: “Orang yang paling dermawan adalah mereka yang memberi dengan diam, tanpa mengharap pujian atau imbalan.”
Jika sebuah aksi kemanusiaan benar-benar tulus, apakah harus dikemas sebagai tontonan yang mengundang simpati berlebihan, tanpa memberi ruang bagi suara dan kekuatan masyarakat Papua itu sendiri?
Sudah saatnya narasi konten seperti ini dikritisi, ketika penderitaan dijadikan komoditas digital demi engagement dan citra pribadi, bukan sebagai jalan menuju perubahan nyata. Kedermawanan yang sejati tidak membutuhkan kamera—hanya hati yang peduli dan tindakan yang benar-benar berdampak. Mereka tampak melakukan kebaikan, namun dibalik itu, narasi yang terbangun justru memperkuat stereotip lama: bahwa orang Papua hidup miskin, tidak mampu, dan tertinggal.
***
Namun demikian, ada banyak konten edukatif yang mengangkat budaya, kearifan lokal, dan cara hidup masyarakat Papua secara utuh dan bermartabat. Misalkan konten YouTube Ale Wild(@alewild) oleh Kahar. Ale Wild menampilkan eksplorasi kehidupan masyarakat Papua yang autentik, menampilkan kearifan lokal, tradisi berburu, dan cara bertahan hidup di alam liar dengan pendekatan yang menghormati budaya setempat. Dari berburu buaya di sungai hingga memasak makanan khas di hutan, kontennya bukan sekadar hiburan, tetapi juga jendela bagi penonton untuk memahami keindahan dan ketangguhan masyarakat Papua dalam menjalani kehidupan yang harmonis dengan alam.
Konten YouTube @BestEverFoodReviewShow oleh Sonny Side yang menampilkan eksplorasi kuliner dan budaya Papua, termasuk pengalaman makan bersama suku-suku terpencil serta mencicipi makanan khas daerah – Salah satu videonya, “Eating With the World’s Most Isolated Tribe!! (Papua)”, memperlihatkan perjalanan ke Papua Nugini, di mana sang kreator berinteraksi dengan masyarakat setempat, mencoba makanan tradisional, dan mendalami kehidupan mereka. Video lainnya “Cooking 1000 Sea Urchins!! Papua’s Ocean Tribe!!”, menampilkan cara masyarakat pesisir Papua mengolah makanan laut. Kontennya berusaha memperkenalkan kekayaan kuliner dan budaya Papua kepada audiens global dengan pendekatan yang menghibur dan informatif.
Ada juga kreator lokal Kaka Jose yang menggunakan beberapa platform sekaligus. Konten Kaka Jose semakin memperkuat identitas dan nilai positif orang Papua. Dia memperkenalkan pola pikir, tradisi, dan cara bertahan hidup yang menjadi kekayaan budaya.
Sebagai anak Papua, saya merasa bangga dan tercerahkan setelah menonton konten-konten seperti ini.
Apakah susah menampilkan hal baik dari masyarakat di pedalaman Papua – yang hidup bahagia atas kesederhanaan dan ketidaktahuan mereka? Yang hidup tenang dan damai bersama alam mereka? Apakah adat dan budaya dapat menjadi tolak ukur ketertinggalan dan kemiskinan kelompok orang tertentu?
Bolehkah saya menyebut diri saya lebih bermartabat ketika saya memperoleh pengetahuan yang lebih maju dari mereka yang hidup nyaman dengan budaya, cara hidup dan pola pikir mereka?
Sebagai anak Papua yang hidup di kota sangatlah menghargai bagaimana manusia Papua sebagai manusia yang beradab dibentuk sebagai manusia adat dengan kearifan budaya mereka – Gunung, Pantai dan Lembah. Apakah pandangan saya salah ketika saya menjunjung tinggi harkat manusia Adat Papua sebagai manusia yang beradab secara adat dan budaya mereka?
Inilah bentuk penghormatan terhadap keragaman cara hidup dan kearifan lokal yang membentuk jati diri masyarakat Papua. Martabat bukanlah tentang seberapa maju seseorang dalam pengetahuan dan teknologi, tetapi tentang bagaimana seseorang menjalani hidupnya dengan nilai, integritas, dan penghormatan terhadap budaya serta lingkungan yang membentuknya.
Kesederhanaan bukanlah ketertinggalan, dan ketidaktahuan akan dunia luar bukan berarti kemiskinan. Masyarakat adat Papua hidup dalam keseimbangan dengan alam, menjalankan tradisi yang diwariskan turun-temurun, serta memiliki sistem nilai yang mengatur kehidupan sosial mereka dengan penuh makna. Keberadaban bukan hanya soal pendidikan formal atau modernisasi, tetapi juga tentang bagaimana seseorang menghormati dan menjaga nilai-nilai luhur dari budayanya.
Sayangnya, banyak yang menilai kemajuan hanya dari ukuran ekonomi atau teknologi, tanpa memahami bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan tidak selalu harus diukur dengan standar global sebagai kaum kapitalis (pemilik modal). Menghormati masyarakat adat sebagai manusia bermartabat berarti tidak menilai mereka dari perspektif yang menganggap modernitas sebagai satu-satunya ukuran kehormatan dan kemajuan.
Papua sudah terlalu sering menerima stigma negatif, baik secara politik maupun sosial. Maka, jangan lagi tambahkan luka dengan mempermalukan masyarakat adat yang hidup di pedalaman Papua melalui konten-konten yang tidak mendidik. Kebaikan sejati tidak menjadikan manusia sebagai objek tontonan—bantuan harus diberikan dengan menghormati martabat penerima, tanpa memanfaatkan kesenjangan sosial sebagai alat pencitraan.
Sudah saatnya kita sebagai anak bangsa, khususnya anak Papua, bersuara: setop membuat konten yang menjual keterbatasan dan ketidaktahuan masyarakat Papua demi citra pribadi!
Mari Torang jadikan media sosial sebagai ruang yang memperkuat nilai, bukan merendahkan harkat manusia.