Oleh: Saul Wandikbo

Ilustrasi oleh: Saiyare Refaei, Free West Papua.
Artikel Tanggapan Kritis terhadap “Membebaskan Marxisme dari Kekeliruan” oleh Yonatan Rumkabu
Tulisan Yonatan Rumkabu, “Membebaskan Marxisme dari Kekeliruan”, membuka perdebatan penting tentang penggunaan Marxisme dalam wacana perjuangan Papua. Ia dengan tajam mengkritik apa yang ia anggap sebagai penyederhanaan dan kesalahan metodologis oleh penulis-penulis seperti Victor Yeimo, Yason Ngelia, Samuel Womsiwor, dan lainnya. Rumkabu menyuguhkan Slavoj Žîkek sebagai koreksi konseptual, khususnya dalam pembacaan atas ideologi, keinginan, dan simbolisme dalam perjuangan kontemporer. Namun, dalam menggiring kita ke pemikiran Žîkek, tulisan ini justru kehilangan dimensi paling vital dalam perjuangan anti kolonial: tubuh, tanah, dan kekerasan material yang ditegaskan oleh Frantz Fanon.
Žîkek, sebagaimana dibacakan Rumkabu, mengajarkan kita bahwa ideologi bekerja bukan karena kita percaya, tapi karena kita menikmati sistem yang menindas kita. Ini adalah pelajaran penting dalam konteks kolonialisme kontemporer: rakyat tahu sedang dijajah, namun tetap tunduk karena merasa tidak punya alternatif. Namun, jika analisis berhenti di sini, kita berisiko menjadikan perjuangan sebagai semata permainan simbolik.
Fanon mengingatkan kita bahwa kolonialisme bukan sekadar ilusi atau wacana, melainkan kekerasan nyata atas tubuh. Tubuh-tubuh yang ditembak, dipenjarakan, diasingkan, dan dibungkam. Dalam konteks Papua, realitas ini terlalu gamblang untuk direduksi menjadi pembacaan atas “desire of the Other” semata. Perampasan tanah, pembunuhan warga sipil, militerisasi wilayah adat, penghancuran hutan adat, dan pemiskinan struktural—semuanya menuntut jawaban material, bukan hanya simbolik.
Rumkabu mengkritik penyebutan seluruh orang Papua sebagai proletar. Ia benar bahwa proletariat dalam Marxisme adalah kategori kelas yang spesifik. Namun Fanon menunjukkan bahwa dalam koloni, garis pemisah bukan hanya antara pemilik modal dan buruh, melainkan antara penjajah dan yang dijajah. Semua orang Papua—terlepas dari kelas ekonominya—berada di bawah struktur rasis, militeristik, dan kolonial. Bahkan elite Papua sendiri seringkali dibentuk dan dikendalikan oleh negara kolonial.
Menolak pemihakan kolektif terhadap rakyat terjajah atas nama “presisi teoritik” berisiko melemahkan fondasi solidaritas. Fanon justru mengajarkan bahwa perjuangan kolonial membutuhkan kesadaran bersama bahwa seluruh rakyat telah dilukai—bahkan jika mereka tak semua memiliki status kelas yang sama.
Rumkabu mengutip Žîkek tentang “non-act” sebagai bentuk pembangkangan simbolik. Menolak pemekaran, pemilu, atau Otsus bukan karena menuntut lebih, tapi karena menolak struktur itu sendiri. Ini adalah strategi yang sah, tetapi tak bisa berdiri sendiri tanpa organisasi yang menopangnya. Fanon berkali-kali menegaskan bahwa revolusi membutuhkan organisasi massa, pendidikan politik, dan struktur ekonomi alternatif.
Tanpa itu, non-aksi akan jatuh ke dalam sikap nihilisme atau estetika gangguan semata. Žîkek sering menghindari pertanyaan “apa yang harus dilakukan” dan lebih tertarik pada dekonstruksi. Fanon, sebaliknya, menuntut kerja politik: membangun dari bawah, menyalakan harapan, mengatur logistik perjuangan.
Contoh bahwa bentuk gangguan simbolik sudah pernah dilakukan di Papua dapat dilihat dalam aksi #PapuanLivesMatter, #AllEyesOnPapua, #SaveRajaAmpat, maupun demonstrasi anti rasisme yang membanjiri media sosial dan ruang publik. Aksi-aksi ini berhasil menekan negara dan memaksa jeda dalam kekerasan atau ekspansi proyek kapitalis. Namun seperti ditunjukkan dalam pembacaan Fanonis, negara kolonial tidak tinggal diam: ia beradaptasi, membungkam dengan cara baru—melalui pembelahan komunitas, kooptasi elite lokal, hingga kriminalisasi aktivis. Tanpa strategi jangka panjang dan infrastruktur perjuangan yang membumi, simbol-simbol ini dengan mudah direduksi menjadi tren sementara yang dikooptasi.
Tulisan Rumkabu menyatakan bahwa campur aduk antara Marxisme, spiritualisme Melanesia, dan nasionalisme adat adalah bentuk kebingungan teoritik. Namun kritik ini terlalu simplistik. Fanon sendiri tidak menolak budaya lokal, melainkan justru melihatnya sebagai bagian dari proses pemulihan identitas dan perlawanan. Dalam konteks Papua, spiritualisme bukan semata mistisisme, melainkan kerangka hidup yang mengatur hubungan manusia dengan tanah, leluhur, dan sesama.
Menolak spiritualitas demi menjaga “kemurnian Marxisme” justru melanggengkan logika kolonial yang merendahkan epistemologi lokal. Apa yang dibutuhkan bukanlah penghapusan, melainkan pemurnian lewat perjuangan. Dengan kata lain, spiritualisme pun bisa menjadi bagian dari Marxisme jika ia mengambil posisi bersama rakyat, menentang penindasan, dan berani masuk ke dalam kontradiksi sejarah.
Simbolisme radikal, seperti yang diusulkan Rumkabu—penggunaan seni, teater, dan parodi—memang penting. Namun Fanon akan menegaskan bahwa simbol tidak cukup jika tidak disertai gerakan riil yang menyentuh kehidupan rakyat. Meme, poster, dan pertunjukan harus berakar pada komunitas, bukan hanya di ruang digital atau lingkar intelektual.
Politik simbolik Žêkekian harus dipasangkan dengan Fanonisme praksis: koperasi rakyat, pertanian kolektif, pendidikan alternatif, media tandingan, dan solidaritas antar kelompok tertindas. Tanpa itu, simbolisme justru bisa dimodifikasi oleh kapitalisme—menjadi bagian dari festival, hiburan, atau bahkan kampanye negara.
Kesimpulan: Menggabungkan Žîkek dan Fanon
Rumkabu menyumbang kritik penting terhadap penyederhanaan Marxisme di Papua. Ia mengingatkan kita untuk tidak menjadikan Marxisme sekadar slogan kosong. Namun dengan terlalu mengandalkan Žîkek dan menyingkirkan Fanon, ia menciptakan bahaya lain: menggantikan praksis revolusioner dengan kontemplasi simbolik.
Padahal, keduanya bisa disatukan. Dari Žîkek, kita belajar membongkar ideologi, kenikmatan, dan mitos kolonial. Dari Fanon, kita belajar membangun organisasi, memperjuangkan tanah, dan menyembuhkan luka kolektif melalui aksi.
Politik Papua hari ini membutuhkan keduanya: dekonstruksi simbolik dan perjuangan jasmani. Revolusi yang membongkar makna dan merebut kehidupan. Kita tidak bisa hanya tertawa atas absurditas negara; kita juga harus merobohkan pondasi penindasannya. Inilah tugas sejarah kita: berpikir setajam Žîkek dan bertindak seberani Fanon.