Catatan Webinar: Raja Ampat dan Militersime di Papua

Oleh: Shinta

Cerita-Cerita Online ini berlangsung pada Jumat, 7 Juni 2024, menghadirkan suara-suara kritis mengenai kondisi terbaru Raja Ampat dan Papua secara keseluruhan. Yang dibicarakan bukan sekadar data, tetapi luka hidup yang nyata: hancurnya komunitas, rusaknya tanah leluhur, dan makin nyaringnya suara perlawanan terhadap proyek “pembangunan” yang lebih mirip penjajahan.

Tapi di balik narasi besar itu, suara perlawanan muncul dari akar rumput. Salah satunya datang dari Musell, aktivis lingkungan asal Papua yang menyuarakan keresahan masyarakat lokal atas ekspansi tambang yang semakin masif dan tidak manusiawi.

Komunitas dipecah,Penolakan Dibungkam

Musell memberikan pembaruan tentang situasi terbaru di Raja Ampat dan Sorong. Ia dan rekan-rekannya telah mengunjungi desa-desa yang menjadi sasaran proyek pertambangan, termasuk Manuran Raja Ampat. Salah satu dari empat wilayah yang disebut sebagai titik kritis. Namun, ini bukan hanya soal lokasi. Ini adalah tentang bagaimana hidup, ruang, dan martabat masyarakat adat dikorbankan demi kepentingan ekonomi yang tak menyentuh mereka sedikit pun. Dan yang lebih menyakitkan, itu semua terjadi dengan persetujuan legal yang diberi nama pembangunan.

Masyarakat di daerah terdampak kini terpecah antara yang mendukung dan yang menolak tambang. Mereka yang mendukung—seringkali karena tekanan ekonomi atau janji kosong kesejahteraan—mendapatkan tempat di mata pemerintah. Sebaliknya, kelompok penolak justru menjadi korban intimidasi, ditinggalkan dari proses pengambilan keputusan, dan dilabeli sebagai pengganggu pembangunan.

Penolakan dianggap ancaman. Suara rakyat dibungkam dengan kekuatan hukum dan militer.

Transisi Energi: Hijau di Permukaan, Hitam di Inti

Pemerintah menjadikan tambang nikel sebagai tulang punggung transisi energi, dengan dalih menjadikan Indonesia pemain global dalam industri baterai kendaraan listrik. Tapi transisi energi yang digadang-gadang justru dijalankan dengan cara lama: menggali tanah, merusak ekosistem, dan meminggirkan masyarakat adat.

Transisi energi yang seharusnya menjadi jalan menuju dunia lebih bersih, malah dijadikan dalih untuk memperluas ekstraksi sumber daya secara brutal. Dalam kondisi ini, “energi hijau” hanyalah selimut untuk melindungi wajah kapitalisme yang tetap haus akan tanah dan tenaga rakyat.

Transisi ini bukan soal menyelamatkan bumi, tapi soal siapa yang dapat bagian terbesar dari kue ekonomi baru.

Negara: Alat Kekuasaan, Bukan Penjaga Keadilan

Dalam diskusi ini ditegaskan bahwa negara bukanlah entitas netral. UU Minerba direvisi untuk memusatkan kekuasaan di Jakarta dan membuka jalan bagi militerisasi wilayah tambang. UU ini merupakan bagian dari Omnibus Cipta Kerja yang melemahkan partisipasi rakyat. Di banyak tempat, aparat hadir bukan sebagai penjaga keamanan warga, tapi sebagai penjaga investasi. Ketika negara menggunakan legalitas untuk membenarkan ketidakadilan, maka warga harus berani mempertanyakan moralitas dari apa yang dianggap sah oleh undang-undang. Karena apa yang legal di atas kertas, belum tentu adil di dalam kenyataan.

Negara digunakan sebagai alat untuk melayani kelas pemilik modal—bukan rakyat.

Hukum menjadi jubah bagi penindasan yang terorganisir.

Pariwisata dan Konservasi: Kolonialisme Gaya Baru

Raja Ampat memang dikenal sebagai kawasan konservasi, tapi itu tidak berarti adil. Zona konservasi yang semestinya melindungi alam justru membatasi aktivitas nelayan lokal. Industri pariwisata yang digadang-gadang memberi kemakmuran, nyatanya dikuasai oleh pemukim luar dan investor. Masyarakat lokal hanya menerima remah-remah, sementara keuntungan mengalir ke luar daerah. Tambang kini datang sebagai ancaman baru yang mengaburkan masa depan mereka.

Konservasi dan pariwisata telah menjadi wajah sopan dari perampasan. Di tanah mereka sendiri, orang Papua jadi pengungsi.

Kesadaran Kolektif dan Kepemimpinan Pemuda: Bara Perlawanan Baru

Di tengah represi dan kehancuran, muncul percikan api baru: kesadaran kolektif. Pentingnya kepemimpinan generasi muda Papua, kami harus menjadi motor perubahan, bukan hanya dengan orasi, tapi dengan pengetahuan, solidaritas, dan keberanian politik. Ilmu pengetahuan harus digunakan untuk membongkar mitos pembangunan dan melawan narasi palsu yang terus dikampanyekan oleh negara dan korporasi.

Generasi muda Papua harus bisa membangun kesadaran kritis rakyat Papua yang saat ini hidup dalam kepasrahan. Juga dogma-dogma agama yang melemahkan perlawanan terhadap kekerasan dan perampasan ruang hidup mereka. Perjuangan di Papua juga bukan hanya milik orang Papua, namun semua orang. Mereka yang meyakini tidak ada keadilan tanpa kebebasan. Oleh karena itu kita membutuhkan solidaritas lintas suku, ras, kepercayaan, gender dan orientasi seksual. Kita butuh solidaritas tanpa batas.

Ini bukan lagi soal Papua saja. Ini soal bagaimana bangsa ini memilih berpihak—pada kehidupan, atau pada laba.

Sebuah Pertanyaan untuk Kita Semua

Papua bukan tanah kosong yang menunggu dijajah dengan dalih baru. Ia adalah tanah yang hidup—dengan sejarah, budaya, dan jiwa yang terus berteriak agar didengar.

Di saat para penguasa menyebut pertambangan sebagai “kemajuan”, rakyat di tanah ujung timur justru harus bertanya: kemajuan untuk siapa? Dan berapa harga yang harus dibayar?

Musell dan generasi muda Papua telah memilih untuk melawan. Kini pertanyaannya adalah: di sisi mana kita berdiri?

Karena diam adalah persetujuan, dan netralitas di tengah penindasan adalah keberpihakan pada penindas.

Jika kita tidak berdiri hari ini, tanah-tanah kita akan tumbang satu per satu, dan generasi berikutnya akan bertanya: di mana kita ketika negeri ini dijual?

Papua bukan tanah kosong. Papua adalah jiwa yang menolak dijual.

More From Author

Membebaskan Marxisme dari Kekeliruan: Kritik atas Penyederhanaan Ideologi dalam Gerakan Papua

Simbol Tak Cukup, Luka Masih Menganga: Menakar Žižek Lewat Fanon untuk Papua

Tinggalkan Balasan