Partai Alternatif Seperti Apa yang Kita Inginkan ?

Ditulis Oleh: Wiru Wene

Ilustrasi Partai Politik Peserta Pemilu. tirto.id/Ecun

Masyarakat yang tidak memiliki mekanisme pertahanan diri akan kehilangan identitas mereka, kemampuan mereka untuk mengambil keputusan secara demokratis, dan sifat politis mereka. – Abdullah Öcalan

Sekitar pertengahan tahun lalu, saya dimintai tolong membantu menyusun sebuah materi presentasi tentang konsep partai dan langkah-langkah mendirikan partai untuk salah satu kawan Leninis. Dia menjadi salah satu pembicara dalam diskusi yang diadakan oleh (sensor) perihal partai alternatif, sebuah forum yang, setidaknya di permukaan, berupaya mencari jalan alternatif bagi gerakan rakyat hari ini – yaitu salah satunya kebutuhan atas partai. Materi yang saya susun dengan singkat dan padat tersebut, cukup mendapat perhatian: selepas diskusi, beberapa peserta memuji bahwa gagasan dalam presentasi tersebut lebih jelas, terstruktur dan tajam dalam merumuskan arah perjuangan.

Tapi sialnya, bukannya mengembangkan diskusi lebih lanjut, kawan saya justru memilih untuk bercanda dengan membuka ‘kartu’ saya ketika obrolan santai paska forum. Dia menyebut nama saya sebagai pembuat materi, lengkap dengan label ideologi yang selama ini melekat di kalangan kiri: bahwa saya adalah seorang Anarkis. Tapi untung saja saya tidak hadir disana! sebuah paradoks yang unik bukan? Di satu sisi, kawan kiri memiliki semangat untuk mendirikan partai alternatif, tetapi di sisi lain, bahkan dalam diskusi internal, memiliki hambatan tersendiri untuk mengontekstualisasikan konsep partai alternatif dalam kondisi materil hari ini.

Kejadian itu membuka kontradiksi yang lebih besar dalam lanskap gerakan kiri kita. Bagaimana mungkin kita yang ingin membangun alat perjuangan politik yang baru justru terjebak dalam pola pikir sektarian lama? Bagaimana bisa sebuah inisiatif yang mengklaim diri sebagai alternatif justru mereproduksi batas-batas ideologis yang kaku, menghalangi kemungkinan sintesis yang lebih mampu dan relevan bagi zaman kita?

Partai kiri di Indonesia memiliki sejarah panjang yang penuh dengan pengalaman tantangan, perlawanan, dan juga kisah pengkhianatan dari dalam maupun luar. Dalam perkembangannya, partai baru dan organisasi kiri yang masih ada sekarang masih terjebak dalam pola struktural yang top-down, birokratis, dan terpusat pada figur-figur elit dalam partai atau organisasi. Model ini mencerminkan warisan Leninisme ortodoks yang sering kali menekankan kepemimpinan sentral dan garis ideologi yang terbilang kaku. Model ini memiliki potensi negatif tidak hanya dapat mempersempit ruang partisipasi rakyat secara luas, tetapi juga sering kali menjebak partai dalam dinamika eksklusif yang sulit menyesuaikan diri dengan kondisi sosial dan ekonomi rakyat yang terus berubah.

Refleksi dan kritik diri menjadi langkah yang penting. Kerapuhan gerakan kiri kita di Indonesia untuk membangun basis massa yang kuat sebagai syarat dasar mendirikan partai alternatif disebabkan oleh ketidakmampuan organisator dalam menyesuaikan struktur dan metode organisasinya dengan frekuensi dan realitas sosial yang dihadapi oleh rakyat pekerja, petani, buruh, dan kelompok terpinggirkan lainnya hari ini yang semakin kompleks dan cepat. Mereka sering kali terjebak dalam produksi wacana teoritis yang terlalu langitan dan maskulin, yang pada akhirnya hanya bisa diakses oleh kalangan intelektual, akademisi, dan aktivis yang sudah lama terlibat dalam diskursus politik. Sementara itu, rakyat yang menjadi subjek utama perjuangan justru berada di luar lingkaran ini, terasing dari proses politik partai yang mengatasnamakan perjuangan mereka. Jika ditarik refleksi lebih dalam, ini terjadi karena kesalahan dalam membangun mekanisme partisipasi yang organik.

Referensi tunggal sebagai ‘dafault’ mendirikan struktur organisasi top-down sering kali hanya menjadikan rakyat sebagai objek mobilisasi, bukan sebagai subjek aktif yang membangun gerakan dari bawah bottom-up. Akibatnya, banyak gerakan yang muncul dengan semangat revolusioner di awal, tetapi kemudian kehilangan daya hidup karena mereka gagal menyesuaikan diri dengan dinamika sosial dan ekonomi yang terus berubah dan berkembang.

Sebagai materi evaluasi komparatif, saya akan membagikan sedikit banyak pengetahuan tentang pengalaman Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di Turki dan Partai Persatuan Demokratis (PYD) di Suriah Rojava yang dapat menjadi inspirasi penting bagi saya yang awalnya sangat anti dengan segala bentuk partai menutup diri, dogmatis dan irasional. Berbeda dengan banyak partai kiri tradisional yang sangat saya benci karena menekankan model kepemimpinan terpusat dan absolut, PKK dan PYD mengembangkan struktur politik yang lebih fleksibel, berbasis pada demokrasi partisipatif, dan mengutamakan desentralisasi kekuasaan.

Perubahan revolusioner ini dimulai dengan langkah dan keberanian untuk transformasi ideologis: yang dilakukan oleh Abdullah Öcalan dalam tubuh PKK sejak akhir 1990-an, dirinya mulai memikirkan ulang mengkritik diri dan organisasinya, perlahan telah menggeser definisi usang tentang partai dari sekadar organisasi revolusioner yang berfokus pada perebutan kekuasaan negara menjadi sebuah gerakan sosial-politik yang menekankan konsep demokrasi radikal. Model organisasi PKK dan PYD menolak struktur hierarkis kaku yang biasanya ditemukan dalam partai kiri tradisional. Sebaliknya, mereka membangun sistem yang memungkinkan komunitas lokal untuk memiliki otonomi dalam menentukan kebijakan mereka sendiri, dengan prinsip bahwa setiap keputusan politik harus berasal dari konsensus masyarakat yang terdampak langsung. Di Rojava, model ini diterapkan melalui struktur konfederalisme demokratis, dimana berbagai komunitas memiliki delegasi perwakilan dalam proses pengambilan keputusan, tanpa adanya dominasi dari elit politik tertentu.

Salah satu aspek penting yang dapat dipelajari dari pengalaman PKK dan PYD adalah peran perempuan dalam politik. Berbeda dengan tradisi partai kiri pasca 1965 di Indonesia yang masih didominasi oleh maskulinitas struktural dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan, PKK dan PYD mengembangkan mekanisme yang memungkinkan perempuan untuk memiliki ruang yang setara dalam politik. Organisasi perempuan seperti Kongreya Star di Rojava menjadi instrumen penting dalam memastikan bahwa keputusan politik tidak hanya dibuat oleh laki-laki, tetapi juga melibatkan perempuan dalam seluruh aspek kehidupan sosial dan politik.

Gagasan ini bisa diterjemahkan dalam bentuk partai yang tidak hanya berorientasi pada elektoral atau perebutan kekuasaan negara, tetapi juga membangun basis komunitas yang kuat dan memungkinkan rakyat untuk berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka. Alih-alih menggunakan pendekatan top-down, partai kiri di Indonesia harus belajar untuk mendistribusikan kekuasaan ke dalam komunitas-komunitas lokal, sehingga gerakan politik menjadi lebih adaptif, organik, dan mampu bertahan dalam jangka panjang.

Kesalahan besar yang tidak boleh dilakukan lagi oleh kita dan gerakan kiri di Indonesia adalah tidak adanya dialektika lebih lanjut dalam memahami bahwa revolusi bukan hanya tentang merebut kekuasaan negara, tetapi juga tentang membangun tatanan sosial yang lebih adil dari bawah. Jika model PKK dan PYD dapat mengajarkan sesuatu, maka pelajaran terpentingnya adalah bahwa tanpa partisipasi aktif dari rakyat, tanpa struktur politik yang lebih demokratis dan fleksibel, dan tanpa keberanian untuk membongkar sistem hierarkis yang membelenggu banyak organisasi kiri saat ini, maka semua perjuangan hanya akan berujung pada pengulangan kesalahan yang sama:

Menciptakan elit baru yang berbicara atas nama rakyat tetapi tetap gagal menyamakan frekuensi diri dengan kebutuhan dan keinginan rakyat yang seharusnya menjadi vanguard (pelopor) revolusi sosial.

Tulisan ini meski dimuat dengan sangat padat akan mencoba membagikan inti lainnya dari beberapa cerita dan pengalaman teori-praksis yang mengusulkan untuk meninggalkan pola strategi-taktis lama yang menempatkan pemimpin partai sebagai pusat dari segala keputusan politik. Mereka yang bertujuan jangka panjang dengan metode membangun ke-partai-an, saya rasa salah satunya harus belajar dari pengalaman PKK dan PYD dalam membangun mekanisme yang lebih demokratis, yang memberikan ruang bagi rakyat untuk menentukan arah perjuangan mereka sendiri. Tanpa langkah ini, tujuan mendirikan partai alternatif atau partai kiri di Indonesia akan terus terjebak dalam siklus kegagalan yang berulang, dan perjuangan rakyat hanya akan kembali dimonopoli oleh segelintir elit yang mengklaim berbicara atas nama mereka dan kita tidak menginginkan ini bukan?

Mendefinisikan ulang konsep partai alternatif definisi ulang ini tidak bisa dilepaskan dari kritik terhadap model partai konvensional yang masih beroperasi dalam logika negara-bangsa modern. Partai-partai politik, terutama yang mengklaim sebagai progresif dan revolusioner, sering kali terjebak dalam sistem representasi elektoral yang justru membatasi partisipasi politik rakyat. Dalam konteks ini, keberadaan partai bukan sekadar alat untuk merebut kekuasaan negara, tetapi harus menjadi instrumen yang mampu membangun tatanan sosial-politik baru yang lebih demokratis dan berakar pada kebutuhan rakyat.

Abdullah Öcalan merupakan salah satu tokoh yang menawarkan perspektif relevan dalam mendefinisikan kembali fungsi partai dalam perjuangan politik rakyat. Dalam gagasannya, partai bukan hanya sekadar kendaraan politik yang bertujuan memenangkan elektoral, tetapi harus berfungsi sebagai alat bagi rakyat untuk membangun sistem alternatif yang melampaui batasan negara-bangsa. Konsep ini berakar pada paradigma Öcalan tentang konfederalisme demokratis, yang menolak sentralisasi kekuasaan dan menekankan pada demokrasi langsung di tingkat komunitas.

Menurut Öcalan, rakyat harus berorganisasi dan membentuk partai bukan untuk sekadar bersaing dalam arena politik formal, tetapi untuk menciptakan ruang politik baru yang memungkinkan mereka mengelola kehidupan mereka sendiri tanpa bergantung pada struktur negara yang sering kali bersifat opresif. Dalam model ini, partai bukan lagi sekadar instrumen elektoral, tetapi menjadi jaringan sosial yang memungkinkan komunitas untuk membangun mekanisme ekonomi, sosial, dan politik secara mandiri. Ini berarti bahwa partai harus berfungsi juga sebagai ruang kolektif terdesentralisasi.

Partai alternatif dan organisasi rakyat yang berbasis pada paradigma Öcalan juga menolak konsep kepemimpinan tunggal dan hierarki yang kaku. Sebagai gantinya, partai harus berbasis pada prinsip rotasi kepemimpinan, desentralisasi keputusan, dan keterlibatan aktif komunitas dalam setiap proses politik. Ini sangat kontras terutama dengan model partai di Indonesia yang masih sangat berpusat pada figur-figur tertentu, yang sering kali menciptakan struktur oligarkis dalam partai itu sendiri .. membangun partai alternatif berarti membebaskan partai dari ketergantungan pada mekanisme elektoral semata dan mengembalikan fungsinya sebagai alat untuk mengorganisir rakyat dalam memperjuangkan kepentingan mereka secara langsung. Partai tidak seharusnya hanya muncul dalam momentum demokrasi lima tahunan, tetapi harus hadir dalam kehidupan sehari-hari rakyat, membangun struktur sosial-ekonomi yang mandiri, dan menjadi bagian dari gerakan rakyat yang lebih luas.

Öcalan juga menekankan bahwa tanpa organisasi politik yang kuat, rakyat akan selalu menjadi objek dari kekuasaan yang ada. Dalam situasi ini, rakyat hanya akan ditempatkan sebagai bagian pasif yang hak-haknya terbatas pada kotak suara setiap lima tahun sekali.

Lebih lanjut konsep partai dalam paradigma Öcalan tidak bisa dipisahkan dari gagasan ekologi sosial dan pembebasan perempuan sebagai pondasi utama. Partai harus menjadi ruang yang inklusif, yang memungkinkan keterlibatan semua kelompok yang selama ini terpinggirkan dari proses politik. Ini berarti bahwa partai alternatif tidak bisa hanya berfokus pada perjuangan ekonomi atau kelas, tetapi juga harus memperjuangkan transformasi sosial yang lebih luas, termasuk penghapusan patriarki dan eksploitasi terhadap lingkungan. Dengan demikian, redefinisi ulang konsep partai alternatif bukan hanya soal mencari cara baru untuk memenangkan pertarungan politik dalam sistem yang ada, tetapi juga tentang membangun model politik yang sepenuhnya berbeda dari yang ada saat ini.

Walaupun saya lebih mengarah pada sosialisme libertarian suka tidak suka, tapi saya harus dengan jujur mengatakan, bahwa ‘dimasa lalu’, gerakan revolusioner melawan kolonialisme .. tidak bisa lepas dari menyebarnya berita revolusi bolshevik dan masuknya tradisi revolusioner komunis Marxis-Leninis. Gagasan tentang pemerintahan buruh dalam model Uni Soviet telah menjadi salah satu warisan terpenting dan besar dari tradisi Marxis-Leninis yang hingga hari ini masih menjadi perdebatan di kalangan kiri global. Model ini didasarkan pada gagasan bahwa dengan menempatkan kelas pekerja dalam struktur pemerintahan negara, maka eksploitasi dan ketidakadilan dapat dihapuskan .. pemerintahan borjuis akan menjadi pemerintahan buruh. Tapi, pengalaman sejarah dan prediksi kaum Anarkis puluhan tahun sebelumnya menjadi kenyataan dan benar! perebutan kekuasaan ini justru menunjukkan kenyataan pahit:

Pemerintahan buruh dalam model Soviet pada akhirnya justru mereproduksi hierarki baru yang memusatkan kekuasaan pada partai dan birokrasi negara mereka menciptakan kelas baru yang menjadi musuh. Bukannya membebaskan rakyat, model ini dengan sistematis menciptakan struktur yang menghambat partisipasi politik langsung dan mempersempit ruang demokrasi di tingkat akar rumput.

Gerakan Kurdi, terutama dalam transformasi ideologis yang dilakukan oleh Abdullah Öcalan dan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), memberikan pelajaran penting tentang bagaimana sebuah gerakan kiri sejatinya tidak selalu terjebak dalam stigma ‘kekakuan’ mereka, kiri tetap dapat bermetamorfosis: seperti PKK yang awalnya berhaluan dari Marxis-Leninis klasik, mulai berdialektika ulang mensintesiskan berbagai teori disiplin ilmu untuk menuju sesuatu yang lebih fleksibel, desentralistik, dan lebih dekat dengan realitas masyarakat. Sejak akhir 1990-an, PKK mulai meninggalkan pendekatan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan atau mendirikan negara-bangsa dan menggantinya dengan konsep konfederalisme demokratis, yang tidak lagi menempatkan perebutan negara sebagai tujuan utama, melainkan membangun struktur politik yang memungkinkan komunitas untuk mengelola dirinya sendiri secara langsung pertahap secara bottom-up.

Konfederalisme demokratis dalam konteks Rojava bukan sekedar adaptasi dari Marxisme klasik, tetapi merupakan sintesis dari berbagai teori kiri yang berkembang dalam beberapa dekade terakhir. Öcalan tidak hanya mengambil inspirasi dari tradisi sosialisme libertarian dan ekologi sosial yang dikembangkan oleh Murray Bookchin, tetapi juga menyerap pemikiran dari tokoh-tokoh seperti Frantz Fanon dan Antonio Negri.

Antonio Negri, dalam teorinya tentang “multitudo” dan “swarm intelligence,” mengajukan gagasan bahwa kekuatan politik tidak harus dipusatkan dalam satu struktur negara yang terpusat, melainkan bisa didistribusikan ke dalam jaringan sosial yang lebih cair dan horizontal. Dalam pandangan Negri, perlawanan terhadap kapitalisme global tidak bisa lagi bergantung pada negara nasional atau partai yang kaku, tetapi harus muncul dari jaringan komunitas yang mampu beradaptasi dan bergerak secara kolektif tanpa pusat komando tunggal. Konsep ini sangat relevan dengan apa yang dikembangkan di Rojava, di mana struktur politiknya lebih menyerupai jaringan komunitas yang saling berkoordinasi, bukan sebuah negara yang dikontrol oleh satu partai tunggal.

Sementara itu, Frantz Fanon memberikan perspektif kritis terhadap kolonialisme dan bagaimana proses dekolonisasi sering kali terjebak dalam reproduksi struktur kekuasaan kolonial melalui negara pascakolonial. Fanon melihat bahwa banyak gerakan pembebasan nasional yang pada akhirnya hanya menggantikan penguasa kolonial dengan elit lokal yang tetap mempertahankan struktur yang menindas rakyatnya sendiri.

Dalam konteks ini, pelajaran dari Fanon mengingatkan kita bahwa sekadar mengganti aktor yang berkuasa tidak cukup jika sistem politik yang ada tetap beroperasi dengan cara yang sama. Jadi sangatlah jelas bahwa membangun partai alternatif bukan sekadar mendirikan organisasi politik baru, tetapi merancang ulang cara kita memahami politik itu sendiri. Dari berbagai referensi yang telah dibahas – konfederalisme demokratis Abdullah Öcalan, swarm intelligence Antonio Negri, kritik kolonialisme Frantz Fanon, hingga refleksi terhadap model partai kiri dalam sejarah – jelas bahwa pendekatan lama yang bersandar pada struktur hierarkis dan negara-bangsa ini harus didekonstruksi dan dipertanyakan kembali oleh kita.

Ini merupakan salah satu tantangan terbesar dalam membangun partai alternatif, akan banyak pertanyaan yang bermunculan seperti: bagaimana menghindari jebakan oligarki internal, dogmatisme ideologis, dan kecenderungan untuk memusatkan kekuasaan? Ini sangat wajar karena organsiasi kiri di Indonesia sering kali jatuh dalam struktur yang terlalu top-down, di mana elit organisatoris mendominasi pengambilan keputusan, sementara massa hanya menjadi objek mobilisasi. Model ini, sebagaimana terlihat dalam banyak eksperimen politik kiri di berbagai negara, cenderung mereproduksi bentuk baru dari relasi kuasa yang ingin mereka lawan. Oleh karena itu, langkah pertama dalam membangun partai alternatif adalah membongkar struktur ini dan membangun model yang lebih horizontal dan partisipatif itu sendiri harus ditekankan dengan tegas!

Dengan semua materi evaluasi komparatif tersebut, berikut merupakan langkah-langkah yang mungkin bisa kita ambil untuk membangun partai alternatif – yaitu harus melibatkan beberapa prinsip utama:

  1. Desentralisasi dan Partisipasi Langsung

Partai harus beroperasi dalam model yang memungkinkan sebanyak mungkin anggota terlibat dalam pengambilan keputusan. Ini berarti bahwa sistem kepemimpinan harus bersifat kolektif, bergilir (dirotasi), dan kepemimpinan bersama harus laki-laki dan perempuan, bukan berpusat pada satu figur, jenis kelamin, atau kelompok kecil yang mendominasi organisasi.

  1. Pendidikan Politik dan Pembangunan Basis Organisasi-Sosial

Partai alternatif tidak bisa hanya muncul dalam konteks elektoral saja, tetapi harus terus-menerus membangun kesadaran politik rakyat melalui pendidikan dan tindakan kolektif. Ini berarti mendirikan sekolah-sekolah politik, koperasi ekonomi kerakyatan, serta ruang-ruang diskusi yang tidak hanya berbasis teori, tetapi juga praktik langsung dalam kehidupan sehari-hari yang mengarah pada kepentingan ekologi-sosial dan pembebasan kedua jenis kelamin.

  1. Ekonomi Alternatif sebagai sumber daya Partai

Salah satu kelemahan terbesar partai alternatif adalah ketergantungan pada dana eksternal yang sering kali mengarah pada kooptasi. Untuk menghindari ini, partai harus membangun sistem ekonomi mandiri yang memungkinkan mereka untuk beroperasi tanpa bergantung pada modal dari oligarki atau donor asing. Model koperasi, solidaritas ekonomi, dan pendanaan berbasis komune harus menjadi bagian integral dari strategi ini.

  1. Membangun Jaringan dan Front yang Kuat

Bukannya beroperasi sebagai entitas yang terisolasi – dan ekslusif, partai alternatif harus mampu membangun jaringan yang luas dengan gerakan sosial, komunitas adat, serikat pekerja, organisasi perempuan, dan kelompok-kelompok lain yang memiliki tujuan yang sejalan. Model unifikasi partai kiri di Prancis dalam Front Populer Baru atau saling terhubungnya partai kiri di Timur Tengah dan Internasional – yang kemudian mendorong juga hadirnya keterlibatan kaum Anarkis di proyek pemerintahan mandiri Rojava, meskipun untuk membangun ini memiliki tantangan tersendiri, dapat menjadi contoh … adalah mungkin untuk membangun kekuatan kolektif tanpa harus menghilangkan keberagaman perspektif di dalamnya.

  1. Penyelarasan Bahasa dan Metode Komunikasi

Salah satu kegagalan utama banyak gerakan kiri adalah penggunaan bahasa yang terlalu akademik dan maskulin, yang tidak mampu menyentuh pengalaman konkret rakyat. Partai alternatif harus mampu mengembangkan metode komunikasi yang lebih membumi, dengan mengutamakan narasi yang bisa dipahami dan dirasakan oleh frekuensi rakyat banyak. Ini berarti bahwa teori-teori besar harus diterjemahkan ke dalam praktik dan frekuensi yang bisa dirasakan langsung dalam kehidupan sehari-hari rakyat sebagai pisau analisis – dan panduan hidup kepribadian mereka.

  1. Menolak Logika Elektoral sebagai Satu-Satunya Strategi

Elektoral bisa menjadi salah satu taktik, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya strategi. Partai alternatif harus terus beroperasi dalam ruang-ruang non-elektoral, membangun mekanisme demokrasi langsung di tingkat komunitas, serta menciptakan alternatif bagi sistem politik yang ada. Dengan semua prinsip ini, partai alternatif yang dibangun bukan hanya menjadi alat untuk merebut kekuasaan negara, tetapi juga menjadi kekuatan sosial yang dapat menciptakan ruang politik baru yang lebih demokratis dan berbasis pada kebutuhan rakyat. Ini bukan tugas yang mudah, tetapi sejarah gerakan Kurdi, pengalaman partai-partai kiri di berbagai belahan dunia, serta refleksi kritis terhadap kegagalan dan kerapuhan model-model lama memberikan kita banyak pelajaran tentang bagaimana jalan ini bisa ditempuh.

Disini saya sekali lagi dengan tegas menekankan bahwa jika kita ingin membangun partai alternatif yang benar-benar mampu menjadi kekuatan perubahan menuju revolusi sosial yang mengakar ke berbagai kalangan masyarakat, kita harus meninggalkan logika partai tunggal yang bersifat top-down dan mulai membangun jaringan politik yang lebih fleksibel, adaptif, dan berbasis pada demokrasi langsung. Partai bukan lagi sekadar alat untuk merebut kekuasaan negara, tetapi harus menjadi ruang di mana rakyat dapat berorganisasi secara mandiri untuk menentukan arah perjuangan mereka sendiri.

Pengalaman dari Rojava – memberi pelajaran penting dalam hal ini, kita tidak boleh menyangkalnya. TEV-DEM (Tevgera Civaka Demokratîk) sendiri, sebagai payung organisasi politik di Rojava telah berhasil membangun struktur konfederalisme demokratis dari berbagai organisasi rakyat, partai kiri dan kelompok politik lainnya, seperti – PYD, Partai Kiri Kurdistan (Partiya Çep a Kurdistanê), Partai Komunis Kurdistan (Partiya Komunîst a Kurdistan), serta organisasi berbasis ekologi-sosial dan pemembasan perempuan. Mereka telah meninggalkan tradisi lama – tidak lagi membangun struktur yang terpusat, mereka menciptakan jaringan yang mampu merespons kebutuhan lokal dengan cepat, tanpa harus menunggu instruksi dari pusat. Ini adalah sebuah bentuk konfederalisme yang memungkinkan fleksibilitas dan ketahanan politik yang lebih besar dibandingkan model partai tunggal yang kaku.

Di Prancis, kita melihat fenomena serupa dengan munculnya Nouveau Front Populaire (New Popular Front), sebuah persatuan kiri yang melibatkan La France Insoumise, Partai Komunis Prancis, Partai Sosialis, dan Partai Hijau. Mereka menyadari bahwa di era politik yang semakin kompleks, tidak ada satu kelompok kiri yang bisa bergerak sendirian. Bukannya tetap bersikeras pada satu dogma tunggal seperti generasi kiri lama, mereka justru menurunkan egoisme irasional – dan mulai membangun strategi kolektif yang memungkinkan berbagai paradigma untuk bersatu dalam perjuangan bersama melawan kapitalisme neoliberal dan fasisme yang bangkit kembali di Eropa.

Dari sini, kita bisa menarik pelajaran penting: bahwa budaya berfaksi dalam partai bukanlah sesuatu yang melemahkan, tetapi justru harus dipraktikkan sebagai metode untuk terbangunnya tradisi kritik dan kritik diri dan mencegah terjadinya sentralisasi kekuasaan yang sering kali berujung pada degenerasi politik. Jika kita ingin membangun partai alternatif di Indonesia, kita harus mengadopsi prinsip ini. Kita harus berhenti menciptakan sekte-sekte politik yang hanya sibuk membangun monumen ideologis, dan mulai membangun gerakan yang benar-benar mampu merespons realitas sosial.

Kita harus melampaui batasan partai-partai tradisional yang hanya berpikir dalam kerangka elektoral tersebut, dan mulai membangun jaringan politik yang mampu mengorganisir rakyat dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ini bukan tentang sekadar merebut kekuasaan negara, tetapi tentang merebut kembali kehidupan itu sendiri! Demokrasi bukanlah sesuatu yang diberikan, tetapi sesuatu yang harus direbut dan dibangun dengan tangan kita sendiri. Kita tidak perlu menunggu pemimpin besar atau partai revolusioner yang sempurna – kita bisa mulai dari sekarang, dari perkumpulan terkecil kita sendiri, dengan menciptakan ruang-ruang perlawanan yang mandiri dan terdesentralisasi.

Mereka yang terus menunggu instruksi akan selalu menjadi budak.
Hanya mereka yang berani membangun sendiri jalan mereka
yang akan menemukan kebebasan.

Tidak ada yang bebas sampai semua bebas!

08 Februari 2025

*Catatan tambahan:

Abdullah Öcalan ditangkap pada 15 Februari 1999 dalam sebuah operasi intelijen internasional yang melibatkan kerja sama berbagai negara, termasuk Turki, Amerika Serikat, dan Israel. Penangkapannya bukan sekadar tindakan hukum biasa, melainkan bagian dari strategi lebih besar untuk membungkam gerakan kiri di Timur Tengah, khususnya perjuangan masyarakat Kurdistan. Sejak era Perang Dingin, kekuatan Barat telah berusaha menekan kebangkitan sosialisme di kawasan ini melalui proyek Sabuk Hijau – sebuah strategi geopolitik yang mendorong terbentuknya Islam konservatif sebagai penyeimbang terhadap pengaruh komunisme dan gerakan pembebasan nasional.

Namun, strategi ini gagal sepenuhnya. Meskipun Öcalan dipenjara dalam fasilitas dengan keamanan super maksimum di Pulau İmralı – Turki, PKK tidak runtuh. Berbeda dari model perjuangan revolusioner klasik yang sangat bergantung pada figur kepemimpin tunggal – sentralistik, gerakan pembebasan nasional Kurdi justru semakin berkembang. Stigma yang selama ini berlaku: bahwa partai akan hancur ketika pemimpinnya dipenggal .. tidak relevan dalam konteks perlawanan Kurdi – yang bangsanya terpecah-pecah menjadi empat negara.

Sebaliknya, PKK dan ideologi Öcalan mengalami transformasi spesifik. Konsep konfederalisme demokratis dan ekologi sosial – Murray Bookchin, yang mengedepankan desentralisasi di sintesiskan dengan teori lain di luar tradisi Marxis klasik, seperti: demokrasi langsung dan pembebasan perempuan, yang menjadi inspirasi utama bagi perjuangan Kurdi di berbagai wilayah – diluar PKK. Hari ini, salah satu bangsa Kurdi yang berada di Suriah berhasil merebut dan mempertahankan wilayah otonom yang kita kenal sebagai Rojava – yang akarnya di organisir sejak 2000 awal. Wilayah ini bukan hanya sekadar teritori yang berhasil dikuasai, tetapi juga laboratorium politik alternatif yang berupaya menjalankan sistem alternatif dari negara-bangsa dan kapitalisme.

DAFTAR ISI

Daftar partai aktif di Rojava – https://en.m.wikipedia.org/wiki/List_of_political_parties_in_Rojava

Partai Persatuan Demokratis (PYD) bukan partai dogmatis tapi dinamis –
https://hawarnews.com/en/saleh-muslim-pyd-is-not-a-dogmatic-party-but-a-dynamic-one

https://widgets.wp.com/likes/index.html?ver=20250228#blog_id=241941017&post_id=147&origin=kritikdiri.wordpress.com&obj_id=241941017-147-67c11ca7d4ccb

Pos Sebelumnya

Komentar

Tinggalkan komentar

Tulis Komentar…

Login atau masukkan nama dan email untuk berkomentar.

More From Author

Refleksi Membaca Buku: Membunuh Dan Mengubah Mentalitas Dominan Laki-Laki Oleh Andrea Wolf Institute 

Papua: Tanah Keindahan yang Dihantam Krisis HIV 

Tinggalkan Balasan