Refleksi Membaca Buku: Membunuh Dan Mengubah Mentalitas Dominan Laki-Laki Oleh Andrea Wolf Institute 

Ditulis Oleh: Arman Wakum

“Bercermin di air keruh, bercermin di cermin yang berdebu, bercermin di batu, atau bercermin ke langit”

Dimanakah posisi kita hari ini, entah sebagai individu, organisasi, dalam keseluruhan perjuangan pembebasan? Pembebasan seperti apa yang Saya atau kita perjuangkan? Apakah pembebasan diri sendiri dari mental maskulinitas akut, patriarki, dan mendominasi turut menjadi agenda utama kita?

Di halaman 36 buku “Membunuh dan Mengubah Mentalitas Dominan Laki-Laki” yang ditulis Andrea Wolf dari Akademi Jineologi. Ada sebuah kutipan oleh Abdullah Öcalan[1] pada edisi pengantar yang Saya kira dapat langsung menjawab pertanyaan di atas dan mewakili keseluruhan isi buku: 

“…jika kita tidak menantang patriarki yang hidup di dalam diri kita semua, maka semua upaya revolusioner pada akhirnya akan gagal”.

Saya akan menceritakan sebuah pengalaman yang identik dengan hal ini sekaligus sebagai bagian dari metode kritik atau kritik diri.

Dua hari yang lalu, Saya baru saja mengikuti sebuah forum yang dihadiri oleh para akademisi. Ini menjadi kali pertama Saya mengikuti forum tersebut. Perkuliahan semester baru akan dimulai pada minggu berikutnya. Jadi pertemuan ini semacam perkenalan antar akademisi dan sekaligus pengarahan agar perkuliahan di semester baru dapat berlangsung dengan lancar.

Setelah sesi pengarahan selesai, kemudian agenda berikutnya yang membuat Saya “surprise” (kaget), yaitu semacam pengarahan oleh sebuah tim yang disebut dengan “satgas anti kekerasan seksual”. Kebetulan anggota tim ini terdiri dari gabungan antara pengajar, mahasiswa, dan psikolog. Baru saja mereka memperkenalkan diri dan memulai pengarahan, Saya mulai merasakan ada semacam “ketidaknyamanan” di antara para audiens yang notabene adalah akademisi, baik laki-laki maupun perempuan. Setelah Saya amati dengan seksama, ketidaknyamanan itu lebih banyak diperlihatkan oleh akademisi laki-laki, terutama yang berpredikat senior (dari segi pengalaman dan keilmuan).

Selesai pemaparan, dibuka kesempatan untuk bertanya. Penanya pertama adalah seorang pengajar perempuan (paruh baya berusia 40-50 tahun), kemudian disusul empat penanya laki-laki yang terdiri dari dua (paruh baya) dan dua junior. Begitu mereka mulai berbicara, Saya menangkap dengan jelas betapa mentalitas patriarki dan maskulinitas akut yang sangat kuat di setiap kata, kalimat, candaan, senyuman, bahkan di volume suara, hingga getaran di tenggorokan mereka. Hal ini tidak hanya terlihat pada laki-laki, namun juga perempuan. Saya yang beberapa hari sebelumnya telah selesai membaca buku “Membunuh dan Mengubah Mentalitas Dominan Laki-laki” tiba-tiba merasa tidak nyaman bercampur dengan kecemasan, kesedihan, bahkan setengah tidak percaya dengan situasi di dalam ruangan tersebut. Bagaimana mungkin para akademisi yang dihormati ini bisa memperlihatkan sikap dan mental patriarki, dominasi, dan maskulinitas akut seperti itu? 

Situasi ini nyata dan terjadi di depan mata. Ada dorongan untuk ikut berbicara dan membantah pernyataan mereka yang sangat seksis dan mendominasi. Namun, tiba-tiba ada semacam perasaan “ketidakenakan” timbul dalam diri karena status “junior” yang melekat pada profesi Saya dan pertemanan yang sebelumnya telah terjalin bertahun-tahun dengan mereka. Ada semacam kekhawatiran jika Saya terlihat berbeda dengan membela “pengarahan” dari tim anti kekerasan seksual tersebut. Keengganan muncul dalam pikiran apabila memposisikan diri berbeda dengan mereka, terutama yang laki-laki. 

Dalam keheningan beberapa detik, tiba-tiba seorang akademisi laki-laki mengangkat tangan dan berbicara “membela” tim pengarah dan materi yang disampaikan. Saya sedikit lega dengan pernyataan laki-laki tersebut. Tetapi Saya merasa tidaklah cukup. Akademisi itu hanya menyanggah pernyataan dari pengajar perempuan (paruh baya). Saya merasa dia “tidak memiliki cukup keberanian” menunjukkan sikap berbeda dengan para akademisi yang laki-laki karena ada rasa yang kurang lebih sama dengan alasan Saya untuk tidak ikut berkomentar dalam hal ini. Tim itu kemudian keluar meninggalkan ruangan setelah tidak ada lagi satu pun audiens yang mengajukan pertanyaan dan pendapat. 

Forum itu kemudian berakhir. Sepanjang perjalanan pulang, kejadian itu terus terbawa dalam  benak. Setelah sampai di kosan dan hendak beristirahat, Saya kembali teringat akan peristiwa itu. Ada perasaan menyesal mengapa Saya tidak cukup berani untuk berbicara membela tim tersebut dan menunjukkan sikap berbeda terhadap para “senior akademisi” yang seksis tersebut. Hingga Saya menulis ini (Sabtu, 15 Februari 2025, Pukul 02.00 WIB/Subuh), kegelisahan dan penyesalan itu masih terus terngiang-ngiang di dalam kepala (pikiran). 

Mengapa Saya tidak membela mereka? Saya telah membaca buku tersebut. Apa yang sesungguhnya terjadi di dalam diri Saya? Mental seperti apa yang membuat Saya diam seribu bahasa? Apakah ini yang disebut mental patriarki? Saya kemudian mendapatkan jawabannya lewat kutipan pada buku tersebut di halaman 54:

“aspek psikologis, emosional, dan politis dari patriarki saling menutupi, melindungi, dan mendukung satu sama lain”

Namun, tidak hanya sampai disitu saja. Kutipan kedua tiba-tiba bagaikan peluru tajam yang langsung menghujam ke jantung Saya:

“mentalitas patriarki tidak hanya menghalangi cinta, tetapi juga melemahkan kemampuan untuk melawan ketidakadilan”

Booommm! Inilah jawaban mengapa Saya tidak melakukan apapun di dalam forum tersebut. Apakah ada faktor lainnya? Bell Hooks di halaman 103 mengidentifikasi alasan lain mengapa laki-laki tidak berbagi kehidupan emosional mereka dengan laki-laki lain: ketakutan.

“…memang, laki-laki yang merasa, laki-laki yang mencintai, sering menyembunyikan kesadaran emosional mereka dari laki-laki lain karena takut diserang dan dipermalukan”

Apa yang harus Saya lakukan sekarang? Kutipan di halaman 100 membantu Saya:

“lebih banyak laki-laki yang akan terlibat dalam pertempuran anti-patriarki jika mereka dapat melihat bagaimana patriarki berhubungan dengan diri mereka, melukai dan merusak hubungan mereka dengan orang lain, memutus hubungan mereka dengan kehidupan emosional, dan menginjak-injak kebahagiaan mereka”

“untuk mengalahkannya, kita membutuhkan laki-laki untuk menantang diri mereka sendiri, tetapi mereka hanya dapat melakukannya jika kita berbicara kepada mereka dan menunjukkan kepada mereka bagaimana menjadi bagian dari perjuangan”

Sebelum mengakhiri tulisan ini, Saya mengambil sebuah tekad. Saya tidak akan membiarkan mental patriarki, maskulinitas akut, dan perasaan dominasi terus menguasai dan menjadi “virus, bakteri, kuman” yang terus menggerogoti dan melemahkan mental dalam diri Saya. Itu harus dibersihkan agar keberanian muncul menggantikan ketakutan serta perjuangan pembebasan yang sesungguhnya segera dimulai, yakni pembebasan perempuan.

Laki-laki dan perempuan, bahu membahu di seluruh dunia, setara, dengan cinta sosialis yang kolektif, membentuk sebuah masyarakat yang bebas, revolusioner, anti imperialisme, anti kolonialisme, anti kapitalisme, serta total melindungi lingkungan hidup. 

Jakarta, 8 Sabtu, 15 Februari 2025.


REFERENSI

[1] Wikipedia Contributors. “Abdullah.” Wikipedia, Wikimedia Foundation, 14 Mar. 2024.

More From Author

Makan Siang Gratis di Papua: Bantuan atau Bentuk Kolonialisme Pangan?

Partai Alternatif Seperti Apa yang Kita Inginkan ?

Tinggalkan Balasan