Makan Siang Gratis di Papua: Bantuan atau Bentuk Kolonialisme Pangan?

Notulen Niskusi: Shinta Huby

Foto: Dalam poster dan spanduknya, lebih dari 500 siswa sekolah di Yahukimo mempertanyakan kehadiran pasukan TNI dalam proses pembagian makanan bergizi secara gratis itu.


Diskusi yang berlangsung pada Minggu, 09 Februari 2025, membuka wawasan baru tentang bagaimana program makan siang gratis di Papua memiliki implikasi yang lebih dalam daripada sekadar peningkatan gizi. Program ini tidak bisa dilepaskan dari konteks kolonialisme pangan—atau yang dikenal sebagai gastro-kolonialisme—di mana pola konsumsi masyarakat diubah secara sistematis oleh kepentingan negara dan korporasi.

Kolonialisme Pangan dan Hilangnya Pola Makan Tradisional

Gastro-kolonialisme terjadi ketika makanan yang diproduksi dan didistribusikan oleh perusahaan besar menggantikan sistem pangan tradisional, yang pada akhirnya memicu kekurangan gizi dan penyakit. Contoh nyata adalah hancurnya hutan Papua akibat ekspansi perusahaan sawit, yang menyebabkan masyarakat Papua kehilangan akses terhadap sumber pangan alami seperti ubi, pisang, dan hewan buruan. Sebagai gantinya, mereka dipaksa bergantung pada makanan industri seperti mi instan dan beras—produk yang tidak dihasilkan oleh orang asli Papua.

Makan Siang Gratis: Kebijakan Bantuan atau Alat Kontrol?

Program makan siang gratis di Papua diklaim sebagai solusi peningkatan gizi anak-anak. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini memiliki dampak yang lebih kompleks:

  • Tidak mempertimbangkan pangan lokal: Program ini menggantikan hasil kebun tradisional dengan produk-produk industri yang tidak dihasilkan secara lokal.
  • Meningkatkan ketergantungan pangan: Orang Papua semakin kehilangan kendali atas sumber daya pangannya sendiri.
  • Keterlibatan militer dalam distribusi: Hal ini menunjukkan bahwa program ini bukan sekadar soal makanan, tetapi juga alat kontrol sosial. Keberadaan militer membuat masyarakat enggan mengkritik kebijakan yang sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
  • Mengubah pola konsumsi masyarakat secara sistematis: Sejarah mencatat bahwa konsumsi nasi baru dikenal secara luas di Papua pada tahun 1980-1990. Dengan kebijakan makan siang gratis, pola makan tradisional berisiko tergantikan dalam 30 hingga 50 tahun ke depan.
  • Bukan berbasis kebutuhan orang Papua: Kebijakan ini, seperti halnya kurikulum pendidikan nasional, tidak mempertimbangkan konteks dan kebutuhan masyarakat setempat, melainkan merupakan pemaksaan dari negara.
  • Menguntungkan elite politik: Program ini lebih banyak menguntungkan segelintir elite lokal dan nasional daripada masyarakat luas.

Penggusuran Tanah dan Kehancuran Kedaulatan Pangan

Bersamaan dengan implementasi program makan siang gratis, terjadi perampasan tanah secara besar-besaran di Papua. Proyek pangan nasional, perkebunan sawit, serta ekspansi industri padi, jagung, dan tebu semakin mempersempit ruang hidup masyarakat adat.

  • Hutan Papua terus dihancurkan, menggantikan sagu dengan komoditas yang menguntungkan industri.
  • Kehilangan pangan lokal berarti kehilangan kedaulatan: Ketika sumber pangan digantikan oleh produk luar, masyarakat kehilangan kendali atas kehidupan mereka sendiri.
  • Ketergantungan pangan menimbulkan masalah kesehatan: Perubahan pola makan ini telah memicu berbagai penyakit baru di Papua, seperti diabetes.
  • Negara tidak mempertimbangkan pengetahuan lokal: Seharusnya, program makan siang gratis berbasis pendekatan budaya dan antropologi, bukan sekadar penyamarataan kebijakan nasional.
  • Dampak psikologis dari kolonialisme pangan: Pemaksaan pola produksi dan konsumsi yang seragam bukan hanya terjadi di Papua, tetapi memiliki dampak politik yang lebih dalam di sana—yakni upaya untuk menghapus identitas asli orang Papua.

Perlawanan: Apa yang Bisa Dilakukan Anak Muda Papua?

Untuk melawan kolonialisme pangan ini, anak muda Papua harus bersatu dan bergerak:

  • Menolak program makan siang gratis yang tidak berbasis pangan lokal.
  • Mempelajari sejarah politik Papua untuk membangun kesadaran dan memahami strategi kontrol yang sedang diterapkan.
  • Mengorganisir diri dalam kolektif atau komunitas yang dapat menjadi wadah diskusi dan aksi.
  • Mengkritisi kebijakan negara melalui berbagai media, seperti tulisan, musik, dan kampanye digital.
  • Mendesak pemerintah daerah untuk mendukung pangan lokal alih-alih hanya mengikuti proyek nasional yang merugikan rakyat.
  • Menolak menjadi objek pembangunan, tetapi menjadi pengambil keputusan dalam kebijakan yang menyangkut masa depan Papua.

Kesimpulan: Makanan adalah Kedaulatan, Bukan Sekadar Bantuan

Dari diskusi ini, jelas bahwa program makan siang gratis bukan sekadar bantuan, tetapi bagian dari strategi kontrol yang lebih besar. Ketika Papua kehilangan kendali atas pangannya, Papua juga kehilangan kontrol atas masa depannya.

Maka, kita tidak boleh diam. Kita harus mengorganisir, berbicara, mempertanyakan, dan melawan! Sebab, “melawan kolonialisme pangan adalah bagian dari perjuangan untuk hidup secara bermartabat. Hanya saat masyarakat Papua kembali menguasai pangannya sendiri, kemerdekaan sejati dapat dirasakan.”

Editor: Papuansspeak

More From Author

Gereja yang Membebaskan Umat Tertindas

Refleksi Membaca Buku: Membunuh Dan Mengubah Mentalitas Dominan Laki-Laki Oleh Andrea Wolf Institute 

Tinggalkan Balasan