Kenapa Kitong (kita) Suka Jual Tanah?

Oleh: Yohanzen Patrick Yolmen

Foto: Tembok yang dicoret bertuliskan “Land Back Fuck Colonialism”in Edmonton, Alberta, so-called Canada by. THUMBlr @radicalgraff

Penulis sering menjumpai potongan pertanyaan yang diajukan di kalangan kita sendiri sebagai orang Papua. Ada banyak jawaban yang kita jumpai sebagai reaksi atas pertanyaan tersebut.

Mulai dari yang kontra terhadap fenomena tersebut, sampai yang pro pada aktivitas jual-beli tanah yang dilakukan oleh beberapa orang Papua. Beberapa dari kita memberikan jawaban yang (menurut penulis) tidak menjawab secara menyeluruh pertanyaan atas fenomena itu.

Disini (dalam tulisan ini) Kita akan sedikit menggali dan berdiskusi tentang hal itu sebagai respon atas kegemaran kita menjual tanah-tanah leluhur kita sendiri.

Kenapa Tanah Menjadi Komoditas ?

Secara singkat, komoditas adalah barang mentah atau barang jadi yang memenuhi syarat untuk difungsikan dan ditukarkan (nilai fungsi+nilai tukar). Tanah adalah barang dengan nilai tukar dan nilai fungsi paling mendasar yang bisa dimiliki oleh masyarakat kapitalis.

Secara fungsi, tanah dijadikan sebagai faktor produksi (alami) yang bisa diapakan saja (multifungsi) untuk menunjang proses produksi berlangsung.

Karena dapat diapakan saja (nilai fungsi), maka tanah memiliki nilai tukar.

Dalam pola pikir masyarakat non-kapitalis, tanah tidak memiliki nilai tukar dan hanya memiliki nilai fungsi.

Sementara dalam masyarakat kapitalis, tanah memiliki nilai fungsi dan nilai tukar. Maka, kita bisa sedikit mengetahui kenapa tanah sering ditukar dengan alat pembayaran yang bernama “uang”. Uang adalah akses utama dalam sistem ekonomi kapitalistik.

“Peralihan menuju Kapitalisme…”

Masyarakat Papua pada umumnya adalah masyarakat yang melaksanakan pekerjaan-pekerjaan ekonomi dengan tujuan produksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri (Produksi langsung Konsumsi) secara sepihak, atau yang sering disebut sebagai masyarakat non-kapitalis.

Berbeda dengan masyarakat pendatang yang melakukan kegiatan ekonomi kapitalistik, dengan adanya pembagian kerja (Produksi -Distribusi-Konsumsi), dimana satu pihak bertindak sebagai produsen yang tidak memproduksi barang untuk kebutuhannya sendiri.

Dalam memasuki tahap Kapitalisme yang memperjualbelikan Barang dengan Nilai tukar dan nilai fungsi, “TANAH ADALAH KOMODITAS” paling awal yang dimiliki oleh masyarakat non Kapitalis (Masyarakat Papua).

“Perubahan Persepsi Masyarakat Papua atas Kepemilikan Tanah…”

Suatu keputusan yang melahirkan tindakan, datang dari dasar pemikiran atau persepsi yang melandasinya. Dalam konteks yang lebih realistis terhadap orang Papua, kepemilikan tanah mengalami perubahan persepsi seturut dengan perkembangan zaman dan pengaruh ideologi asing (kebudayaan, gaya hidup, dan cara hidup).

Hal ini turut merubah persepsi orang Papua terhadap kepemilikan tanah juga. Misalnya, kepemilikan tanah oleh orang Papua sebelum adanya pengaruh asing dibangun dari persepsi bahwa tanah adalah reward (hadiah) yang didapat dari tumpahnya keringat dan darah, sehinggah perubahan kepemilikan tanah juga dipersepsikan harus dengan pertumpahan darah dan keringat.

Tetapi kehadiran komunitas asing dengan pemikiran kapitalistik yang juga asing, merubah persepsi orang Papua terhadap tanahnya. Jika dulu perpindahan kepemilikan dibayar dengan sesuatu yang sangat mahal, maka dengan adanya kapitalisme, tanah dapat ditukar hanya dengan kertas-kertas yang disebut sebagai uang.

Mereka yang menjual tanah adalah orang-orang yang mengalami perubahan persepsi terkait tanah juga.

Perubahan persepsi itu dimulai dari bertambah atau berkurangnya segala macam nilai-nilai yang menguatkan persepsi turun temurun sebelumnya bahwa tanah adalah sakral dan luhur.

Persepsi luhur itu disusun dari berbagai nilai yang didapat(kan) dari berbagai macam peristiwa dan pemikiran sebelumya. Misalnya kepemilikan tanah menjadi penting karena merupakan tempat lahir seseorang atau suatu komunitas, kejayaan dan jejak perilaku, tutur bahasa masa lampau nenek moyang serta kegiatan ekonomi yang terjadi di atas tanah itu di (pada) masa lampau.

Dengan melihat susunan persepsi itu, maka kita bisa simpulkan sementara, bahwa persepsi masyarak non-kapitalis (Orang Papua) tentang tanah disusun secara historis, sosiologis dan ekonomis.

Sementara untuk masyarakat kapitalis (pendatang), persepsi tentang tanah hanya disusun oleh satu landasan, yaitu nilai ekonomis!

Perubahan itu kemudian terjadi karena perbedaan populasi yang signifikan sehingga memicu juga perubahan persepsi antara yang mayoritas dan minoritas, dalam hal ini adalah tanah.

“Setelah jual tanah, habis itu jual diri”

Perubahan persepsi itu kemudian mendorong orang Papua sebagai aktor dari sistem ekonomi non-kapitalis berpindah menuju pada masyarakat kapitalis.

Komoditas (barang) pertama yang dihasilkan oleh masyarakat Papua adalah tanah leluhur mereka sendiri.

Penjualan tanah adalah indikasi seseorang atau kelompok memasuki tahap baru dalam aspek ekonomi mereka. Karena tidak lagi memiliki akses terhadap tanah sebagai tempat berkegiatan ekonomi, dan ditambah tuntutan ekonomi agar tetap hidup, maka komoditas yang dijual selanjutnya adalah diri mereka sendiri, yaitu sebagai buruh, pekerja atau karyawan di tempat yang dahulunya adalah tanah leluhur mereka.

Menjual diri pada si pemilik tanah yang baru adalah satu-satunya cara untuk tetap terhubung dengan tanah leluhurnya. Secara kasar, tulang belulang nenek moyang juga ikut kita jual sebagai komoditas di dalamnya.

“Menderita karena sudah terpisah”

Karena kegiatan ekonomi sudah menjadi terbatas, sementara tuntutan untuk tetap hidup terus menuntut, maka satu-satunya cara mereka yang masih prematur soal produksi dalam kapitalisme adalah menjual diri sendiri sebagai buruh.

Nah, (hal) ini yang menarik soal menjadi pekerja di tanah yang bukan miliknya. Kasusnya kita akan lihat seperti perbudakan baik lampau maupun modern. Orang yang bekerja di bawah tuntutan orang lain, demi kepentingan si pemodal adalah mereka yang umumnya tidak memiliki tanah.

Budak-budak (dari) Afrika yang dibawa ke Amerika adalah komunitas kulit hitam Afrika yang terpisah dengan tanah leluhurnya. Sehingga selain karena perubahan persepsi bahwa mereka sendiri adalah komoditasnya, ditambah tuntutan bahwa mereka harus tetap hidup walaupun menderita, mereka “menikmati” status sebagai budak sampai hampir 400 tahun lamanya.

“kolonialisme, hukum dan tanah”

Status kepemilikan Tanah Papua secara umum sudah “dibeli” oleh kolonial dengan menciptakan keterikatan sejarah, antropologi dan sosio-ekonomi yang dilindungi oleh hukum-hukum kolonial, itu sebabnya uang hanyalah pelicin.

Proses perpindahan kepemilikan tanah dari masyarakat Papua kepada Masyarakat asing dilakukan dengan lebih dulu menciptakan nilai-nilai baru penyusun persepsi yang baru juga.

Perubahan persepsi terhadap tanah adalah langkah utama dan penting untuk memuluskan transaksi jual beli dikemudian hari. Persepsi itu ditanamkan dalam corong-corong yang dekat dengan telinga dan mata masyarakat Papua. Lewat institusi resmi dan tidak, persepsi baru mengalir begitu deras, menghilangkan harmoni antara manusia Papua dan tanahnya.

Dalih “Kepentingan bersama” adalah omong kosong paling membosankan yang bisa kita dengar.

“Hukum kolonial dipakai untuk melanggengkan kekuasaan tanah koloni untuk kepentingan tanah kolonial”

Kolonialisme, Hukum dan Tanah punya keterikatan yang konkret untuk merebut tanah-tanah leluhur orang Pribumi.

Dalam konteks sejarah Bangsa Indonesia, kita lihat bagaimana Kolonialisme merebut tanah air orang Indonesia dengan menciptakan kesadaran palsu kepentingan nasional dan membuat payung hukum untuk melindungi kedok perampasan tanah Bangsa Indonesia. Undang-undang Gula (Suiker Wet) 1870 atau juga ada Undang-Undang Tanah (Agrarische wet) 1870. Ini adalah kombinasi dari watak penjajah dalam nilai-nilai kolonial yang dilindungi hukum kolonial di atas dan untuk kepentingan tanah koloni juga.

Hal yang sama juga dilakukan dan dipraktikkan di atas tanah Papua, bahkan secara terang-terangan.

Editor: Papuansspeak

More From Author

Pentingkah Orang Papua Belajar Filsafat?

Gereja yang Membebaskan Umat Tertindas

Tinggalkan Balasan