Cover Buku Orang Hubula (Sumber: Kompas.id)

Refleksi Membaca Buku Orang Hubula: Papua Sebatas Narasi

Air mata, keringat, dan darah yang mengalir pada torang.

Uang, gelar, dan kehormatan untuk dorang.

Tiba-tiba di beranda ig, terpampang informasi mengenai peluncuran buku yang bertautkan “ORANG HUBULA”. Hal ini menarik perhatian dan keinginan untuk hadir muncul. Setibanya pada lokasi, pertama yang saya cari adalah buku tersebut. Akhirnya, setelah mendapatkan buku tersebut, segera membuka dan mulai membaca. Nikmat sekali rasanya membaca dengan pandangan yang lebih dekat dan berbeda dari beberapa buku yang pernah saya baca sebelumnya. Kebanyakan buku yang menulis tentang Papua selalu keras, kaku, kadang tidak bersahabat, bahkan merendahkan. Ujungnya menggoda kegelisahan ketika melaju di atas rangkaian kata yang mereka susun. Terkadang akhirnya memilih untuk melompat meninggalkan kata, kalimat, paragraf, hingga akhirnya mengambil jeda waktu untuk membaca lebih lanjut. 

Namun, berbeda dengan buku yang satu ini. Ia selalu mendorong untuk menikmati setiap langkah. Hal itu sekaligus memanggil ingatan akan beberapa bacaan yang sempat saya simak. Salah satunya Anna L. Tsing “Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Adil”, yang menceritakan masyarakat adat Suku Dayak di Kalimantan. Tsing fokus pada kehidupan masyarakat adat ini, terutama dalam konteks hubungan mereka dengan kekuasaan eksternal, seperti negara dan perusahaan besar, serta bagaimana mereka berinteraksi dengan sumber daya alam yang ada di sekitar mereka. Ia menggambarkan bagaimana masyarakat Dayak, yang selama ini dipandang sebagai kelompok yang terisolasi, sebenarnya memiliki strategi-strategi bertahan hidup yang kompleks dan adaptif dalam menghadapi tekanan dari luar. 

Tidak hanya itu, John M. Prior dalam bukunya yang berjudul “Daya Hening, Upaya Juang” membahas situasi sosial dan budaya di Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan fokus pada dinamika kehidupan masyarakat lokal yang sering kali tersembunyi di balik kesulitan dan perjuangan sehari-hari. Buku ini menggali kehidupan masyarakat di NTT melalui perspektif yang mendalam. Prior ini tidak hanya menggambarkan masyarakat NTT dalam keadaan terpinggirkan atau terisolasi, tetapi juga menyoroti bagaimana masyarakat lokal ini terus berjuang untuk bertahan hidup dalam kondisi yang sering kali keras. Prior menggambarkan “daya hening” sebagai kekuatan atau potensi yang ada pada masyarakat lokal yang tampaknya diam, namun memiliki daya tahan yang luar biasa untuk menghadapi tantangan hidup. Ini mencerminkan ketangguhan masyarakat NTT dalam menghadapi berbagai tantangan eksternal, baik dari segi politik, sosial, maupun ekonomi.

Tetapi, bukan itu ujung buku Hubula ini tetap saja menyisakan kisah yang sama, tidak ada hal yang signifikan. Sebagaimana Anna L. Tsing, Julia juga menggaungkan kritik terhadap pendekatan yang sebelumnya dari perspektif perlawanan. Mereka berfokus pada pendekatan untuk menarasikan bagaimana upaya mereka bertahan. Tidak seperti Julia yang berhenti pada memberikan rekomendasi penelitian lebih lanjut dan menekankan perlunya landasan ontologis struktur sosial orang Hubula dalam intervensi dan kebijakan budaya (2024:xx). Tsing lebih menegaskan pada pengakuan terhadap kompleksitas kehidupan sosial masyarakat adat, serta pentingnya membangun dialog yang lebih setara antara dunia akademik, pemerintah, dan masyarakat adat. Tetapi, ujungnya tetap sama.

Prior lebih jauh dari itu, ia tidak hanya menguraikan situasi masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan mendalam, tetapi juga lebih jauh lagi, ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis yang mengguncang kemapanan institusi, terutama Gereja. Prior tidak sekadar menggambarkan kehidupan sosial dan budaya masyarakat lokal, tetapi juga mempertanyakan peran Gereja dalam hubungan yang ada antara masyarakat adat dan kekuatan eksternal, termasuk negara dan kekuasaan.

Giay dalam bukunya “Zakheus Pakage dan Komunitasnya” berfokus pada pengakuan terhadap masyarakat adat dan budaya mereka, serta menekankan pentingnya terlibat secara langsung dalam kehidupan mereka. Berbeda dengan banyak tulisan yang hanya berfokus pada kritik atau analisis yang terpisah, Giay mengusung pendekatan yang lebih inklusif, dimana dialog dan partisipasi aktif menjadi kunci dalam upaya membangun hubungan yang lebih setara antara masyarakat adat dan dunia luar, termasuk institusi seperti Gereja. Tentu saja, sebagai bagian dari Gereja ia perlu melakukan itu. Namun, ada yang menarik.

Lebih dari itu, dalam peluncuran bukunya, Giay secara terbuka melontarkan permintaan maaf kepada Zakheus Pakage dan komunitasnya. Dalam pengakuannya, Giay mengakui bahwa ia merupakan bagian dari orang-orang yang terlibat dalam menyingkirkan komunitas Pakage secara kelembagaan di dalam Gereja. Permintaan maaf ini bukan hanya merupakan langkah simbolis, tetapi juga sebuah pengakuan atas kesalahan sejarah yang telah terjadi dalam hubungan antara Gereja dan masyarakat adat. Dengan cara ini, Giay tidak hanya mengkritik masa lalu, tetapi juga mengambil tanggung jawab atas peran Gereja dalam mengabaikan hak-hak dan martabat komunitas tersebut.

Terlepas dari semua itu, mari kita mundur sejenak. Sebelum catatan kritis ini hadir, ada sejumlah masalah yang perlu dipahami terlebih dahulu. Masalah tersebut berkaitan dengan paradigma lama yang telah terbentuk dan mengalami perubahan. Namun, jejak yang ditinggalkan tetap sama: ketiadaan tindak lanjut dan pembelaan, hingga terciptanya kebijakan yang lebih konkret.

Narasi Penaklukan

Pada awal kontak dengan dunia luar, penjajah seringkali memberikan nama pada pulau, suku, tempat (toponimi), dan elemen lainnya sesuai dengan pandangan mereka sendiri, tanpa mempertimbangkan nama-nama asli yang telah digunakan oleh masyarakat setempat. Penamaan ini mencerminkan pandangan mereka sebagai pihak yang superior, seolah-olah berhak menentukan identitas wilayah tersebut. Contohnya, banyak tempat di Papua yang dinamai berdasarkan tokoh-tokoh penting dari Belanda, seperti Wilhelmina-Top yang diambil dari nama Ratu Wilhelmina, atau Fort du Bus, pos kolonial di Teluk Triton yang dinamai untuk menghormati Gubernur Jenderal Belanda Hendrik Merkus de Kock. Ada juga nama-nama yang diberikan berdasarkan ciri geografis dalam bahasa Belanda, seperti Hollandia yang berarti “wilayah Belanda,” dan Sterrengebergte (Pegunungan Bintang) yang dinamai berdasarkan bentuk fisiknya.

Selain itu, nama-nama lokal sering kali diabaikan karena dianggap sulit diucapkan atau tidak relevan, dan digantikan dengan nama baru yang lebih sesuai dengan selera penjajah. Penamaan ini juga berfungsi sebagai simbol kekuasaan untuk menegaskan dominasi kolonial atas wilayah Papua. Akibatnya, banyak identitas lokal yang hilang, dan narasi sejarah Papua sering kali lebih mencerminkan sudut pandang kolonial daripada perspektif masyarakat setempat. 

Tidak berhenti Belanda, Indonesia pun melanjutkan praktik yang sama. Alih-alih merebut dari Belanda, mereka tetap melakukan hal yang serupa, yakni menamakan ulang sesuai keinginan mereka. Contohnya, Wilhelmina-Top yang kini diubah menjadi Puncak Trikora. Beberapa nama diganti untuk mencerminkan identitas nasional Indonesia, seperti perubahan nama Hollandia menjadi Jayapura yang berarti “kota kemenangan” menurut Indonesia. Masih banyak lagi nama-nama lainnya. Penamaan ini bukan sekadar soal toponimi, tetapi juga mencerminkan dominasi kekuasaan yang berupaya menghapus jejak identitas asli masyarakat Papua. Hal ini dibahas lebih mendalam oleh Dorthea, dalam catatannya dengan judul “Rekonstruksi Identitas Orang Papua Melalui Perubahan Nama Tempat”, silahkan disimak.

Pada masa kolonial, penjajah memposisikan diri sebagai pihak yang paling tahu segalanya, tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga di dunia akademik. Dunia akademik, yang memiliki kuasa untuk memberi label dan mendefinisikan, melahirkan banyak istilah yang merendahkan masyarakat Papua. Hitt (1962) tanpa ragu menyebut masyarakat Papua sebagai “kanibal.” Selanjutnya, Soepangat (1986) menggambarkan mereka sebagai “primitif.” Koentjaraningrat dkk. (1993) mendeskripsikan mereka sebagai “terkucil” dan “terasing,” sementara Dekker dan Neeley (1996) menggunakan istilah “orang zaman batu.” Istilah-istilah ini mencerminkan bias kolonial yang mengabaikan budaya dan keberagaman masyarakat lokal, memperkuat stereotip yang merendahkan serta melanggengkan diskriminasi terhadap masyarakat Papua. Jika dengan pandangan seperti itu, kita tahu seperti apa isi dari narasi yang mereka kemas dalam berbagai penelitian yang dilakukan?

Narasi Sebagai Sumber

Pada babak berikut, muncul narasinya berbeda. Hal itu bersamaan dengan perubahan paradigma. Sebelumnya yang berfokus pada evolusionisme (abad ke-19). Narasi-narasi sebelumnya memiliki keterkaitan yang erat dengan paradigma evolusionisme dalam antropologi, karena keduanya didasarkan pada asumsi hierarkis yang menempatkan budaya Barat sebagai puncak perkembangan peradaban. Dalam paradigma evolusionisme, masyarakat digambarkan melalui tahap perkembangan linier, dari “primitif” ke “beradab,” dimana budaya non-Barat—termasuk masyarakat Papua—sering dianggap berada pada tahap awal perkembangan. Perspektif ini secara tidak langsung memberikan legitimasi akademis kepada narasi kolonial yang merendahkan budaya lokal sebagai bentuk “primitif” yang belum mencapai tingkat kemajuan seperti masyarakat Barat. Indonesia juga mengikuti itu pada era itu.

Narasi mulai berubah ketika paradigma akademik, terutama antropologi mulai berubah. Pada tahap ini mereka melihat budaya sebagai sistem terpadu di mana setiap elemen memiliki fungsi tertentu untuk menjaga keseimbangan sosial. Alih-alih itu mereka berfokus pada memotret dinamika sosial yang terjadi saat itu. Berbagai lembaga penelitian di Indonesia dikerahkan untuk mencaplok narasi. Dengan didukung oleh sistem donor, mereka terlalu fokus pada hanya membaca dan menceritakan ulang. Tentu saja, dengan beberapa rekomendasi-rekomendasi. Di sini yang mereka lakukan adalah mencocok-cocokan teori mana yang sesuai dan di mana. Program apa yang cocok dan dimana.

Hasil dari berbagai penelitian dan laporan yang dilakukan mengenai situasi Papua pada periode tersebut menghasilkan begitu banyak buku dan laporan yang menggambarkan kondisi sosial, politik, dan hak asasi manusia di sana. Namun, ironisnya, hampir semua laporan dan kajian itu berakhir dengan rekomendasi—beragam saran untuk perbaikan, tetapi tidak ada tindak lanjut yang nyata. Bab terakhir selalu diisi dengan harapan akan perubahan dan solusi, namun pada kenyataannya, yang berlanjut justru adalah siklus yang tak kunjung selesai: para peneliti, akademisi, atau pejabat menikmati keuntungan berupa uang, jabatan, atau gelar akademik yang semakin mengukuhkan posisi mereka. Sementara itu, masyarakat Papua yang menjadi objek penelitian, yang seharusnya menerima manfaat dari rekomendasi-rekomendasi itu, tetap terdiam. Mereka terus menjalani kehidupan yang penuh penderitaan, mengusap air mata, keringat, dan darah tanpa perubahan signifikan yang terjadi di lapangan. Keadaan ini mencerminkan ketimpangan yang ada dalam sistem yang lebih besar, di mana hasil penelitian dan rekomendasi seringkali hanya menjadi wacana tanpa adanya realisasi yang dapat memperbaiki kehidupan masyarakat Papua secara substansial.

Narasi Pendengar

Pada babak ketiga, pendekatan dalam studi dan penelitian mengenai Papua mengalami pergeseran yang signifikan. Jika sebelumnya para peneliti cenderung melihat masyarakat adat melalui lensa teori-teori besar yang mengarah pada generalisasi, maka kini mulai muncul kritik terhadap otoritas akademis dalam mendefinisikan budaya dan kehidupan masyarakat Papua. Peneliti mulai menolak narasi tunggal tentang kebenaran budaya yang ditawarkan oleh teori-teori lama dan lebih mengedepankan pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis pada suara masyarakat adat itu sendiri. Pada titik ini, studi etnografi mulai memberikan ruang yang lebih besar bagi masyarakat adat untuk merepresentasikan diri mereka, memberi mereka kesempatan untuk berbicara langsung tentang realitas yang mereka hadapi.

Narasi-narasi ini terdengar lebih indah dan bersahabat, sering kali mengundang empati dari pembaca. Mereka mencoba untuk lebih dekat dengan kehidupan dan pengalaman masyarakat adat, bahkan terkadang menempatkan diri mereka dalam posisi yang lebih dekat, seolah ingin memahami lebih dalam. Meski demikian, meskipun ada perubahan dalam cara narasi disampaikan, pada akhirnya banyak penelitian dan laporan tersebut tetap berakhir dengan rekomendasi yang tidak pernah terlaksana. Hasil akhirnya kembali ke titik yang sama: sebuah rekomendasi kosong yang tidak membawa perubahan nyata bagi kehidupan masyarakat Papua.

Namun, dalam konteks ini, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) mulai mengambil langkah yang lebih konkret. Mereka tidak hanya mencuplik narasi atau mendengar cerita masyarakat Papua, tetapi mulai memberi mereka ruang untuk berbicara, berkampanye, dan bahkan berupaya mengubah kebijakan. Pendekatan mereka lebih berbasis aksi dan perubahan sosial. Sementara dunia akademik cenderung tertinggal, OMS mulai bergerak lebih jauh dengan memobilisasi dukungan dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat di tingkat kebijakan.

Para pemilik pengetahauan masih saja memerah keringat, tangisan, bahkan menumpahkan darah lebih banyak. Di samping itu, dunia akademik, yang memiliki kuasa untuk mempengaruhi kebijakan, masih terjebak dalam rutinitas rekomendasi kosong yang tidak pernah terwujud dalam tindakan nyata. Dunia akademik,hanya menjadi alat pemeras keringat, penambah tangisan, bahkan jadi alat untuk menumpahkan darah lebih banyak lagi. Ada narasi, tak ada aksi, hanya sebatas rekomendasi sisih.  Ini menggambarkan ketimpangan yang terus berlanjut: meskipun ada banyak narasi dan rekomendasi yang muncul dari penelitian, perubahan yang diinginkan tetap sulit tercapai karena kurangnya tindak lanjut signifikan. Ada narasi, tak ada aksi, hanya sebatas rekomendasi sisih.

Keluar dari Narasi Dominasi

Setuju bahwa, mereka juga turut mencatat, menarasikan semua hal yang terjadi di tanah ini. Tetapi, tidak cukup hanya menjadi narasi toh! Untuk melihat ini, mau mengajak menyimak ulasan dari Nora Berenstain dan Emmalon Davis. Mereka berbicara mengenai Epistemic Exploitation. Ini adalah bentuk penindasan epistemik yang paling mendalam dan paling sistemik. 

Epistemic exploitation terjadi ketika individu atau kelompok terpinggirkan diarahkan untuk memberi pengetahuan mereka tentang pengalaman atau keadaan mereka untuk keuntungan orang lain, tanpa pengakuan atau kompensasi yang memadai. Tidak hanya merampas pengetahuan dan pengalaman mereka, tetapi juga membebani individu dengan pekerjaan tambahan untuk menjelaskan dan mengedukasi kelompok dominan, yang sering kali mengabaikan atau meremehkan kontribusi mereka. Ini menciptakan dinamika kekuasaan yang lebih dalam dan sistemik, di mana kelompok dominan terus memanfaatkan pengetahuan kelompok terpinggirkan dan tersisih untuk mempertahankan posisi mereka. 

Akhirnya, para peramu pengetahuan ini seringkali juga terjerumus dan berhenti dalam pandangan recognition atau pengakuan yang hanya berujung pada tokenisme. Setelah mengakui, tidak ada lanjutannya. Pengakuan justru berhenti sebagai narasi tanpa menerima kontribusi mereka. Jika membicarakan standpoint (titik pijak) justru lebih menarik rasanya. Upaya untuk berpijak, bukan hanya terbatas sebagai narasi tapi berpijak untuk melakukan tindak lanjut yang lebih. Posisi ini tidak hanya bertolak dari pentingnya mendengarkan dan memahami perspektif dari kelompok terpinggirkan, karena mereka memiliki pengetahuan yang berbeda: pengalaman dalam memahami dunia, khususnya terkait kekuasaan dan ketidakadilan. Tetapi, lebih dari itu ada upaya untuk Melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Di mana terciptanya usaha untuk melibatkan kelompok terpinggirkan dalam proses pembuatan kebijakan atau keputusan yang berdampak pada mereka.

Buku-buku yang dibahas tadi, tidak pernah mencapai tingkatan seperti itu. Hanya sebatas mendengar, mencaplok, pergi, mendapat keuntungan, gelar, hingga jabatan. Singkatnya hanya jadi pemerah pengetahuan dari mereka yang punya pengetahuan dan setelahnya berdiam diri, tak berbuat apa-apa, bahkan sisih. Masyarakat yang menyimpan dan memproduksi pengetahuan tetap berkeringat, mengusap air mata, dan terus menumpahkan darahnya. Kondisi seperti itu yang ada saat ini. Itu juga yang menggerakkan saya untuk menuliskan ini. Semoga menjadi bahan untuk menemukan titik pijak untuk perubahan yang lebih baik.

***

More From Author

Penjajahan adalah Akar, Rasisme adalah Imbasnya (Bagian 1)

Ibu Iriana Joko Widodo, Ibu Wury Ma’ruf Amin, bersama para anggota Organisasi Aksi Solidaritas Era Kabinet Indonesia Maju (OASE KIM) tiba di Bandar Udara Sentani, Kabupaten Jayapura sekitar pukul 16.15 WIT, pada Senin, 22 Juli 2024. Foto: BPMI Setpres/Vico

TAMU TERIMA TAMU : HARUSKAH ORANG PAPUA TERGANGGU?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *