Dualisme Dalam Tubuh Organisasi IMAPA Jadetabek: Bagaimana Seharusnya Mahasiswa Papua Bersikap?

Rapat Pertemuan Litbang IMAPA Se-Jadetabek 2023

Oleh: Oscar Ugipa

Latar Bekalang

Terbentuknya Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) Jakarta tidak terlepas dari sejarah panjang bangsa Papua. Kala itu ketika adanya rencana operasi Trikora (1961-1963) beberapa orang Papua yang terlibat di dalamnya menetap di Mess Koreri yang kemudian mengganti nama menjadi Mess Cendrawasih. Mess ini diresmikan pada 1964 yang berlokasi di Jl. KH Mas Mansyur No 63 Kelurahan Kebon Melati,  Kecamatan Tanah Abang. Mess ini merupakan persembahan pemerintah Indonesia, waktu itu dibawah presiden Soekarno untuk rakyat Irian Barat. Dengan adanya Honai atau rumah bersama, orang Papua yang pergi belajar di tanah Jawa dapat berkumpul di satu tempat. IMAPA Jakarta secarah keorganisasian dibentuk pada 1970 dengan nama Ikatan Mahasiswa Hollandia dan kemudian mengalami beberapa perubahan nama. Dengan adanya perubahan nama provinsi menjadi Irian Jaya, maka ia juga berubah menjadi Ikatan Mahasiswa Irian Jaya (IMIRJA). Kemudian setelah presiden KH. Abdurrahman Wahid  (Gus Dur) mengganti nama pulau Cendrawasih ini dengan nama Papua pada 31 Desember 2000. IMIRJA diubah menjadi Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) Jakarta.

Seiring berjalannya waktu nama IMAPA Jakarta mulai terkenal dan memantik mahasiswa Papua di kota studi lainnya untuk mengorganisir diri mereka ke dalam sebuah komunitas. Dengan berbagai nama misalnya IMAPA Bogor, IMASEPA Bandung, IMAPA Russia, Amerika dan lain sebagainya. Namun dengan tujuan utama yaitu persatuan mahasiswa Papua di tanah rantau. Persatuan menjadi penting dalam sejarah kehidupan manusia Papua yang tidak pernah lepas dari konflik politik yang melahirkan berbagai masalah sosial, ekonomi dan budaya.  Sebuah kebenaran sejarah bangsa  Papua yang lahir pada 1 Desember 1961 dan masih terus diperjuangkan hingga detik ini. Dimana waktu itu Papua Barat  mendeklarasikan kemerdekaanya dan dua tahun kemudian pemerintah Indonesia merespon dengan berbagai operasi militer (Operasi Trikora). Yang mana menurut pemerintah adalah sebuah “Negara Boneka” bentukan Belanda.

Pertarungan ideologi ini juga memunculkan berbagai kepentingan yang berupaya merusak mahasiswa Papua untuk berdialektika. Mereka memiliki peranan penting sebagai corong suara kritis bagi rakyat Papua yang selalu dibungkam di atas tanah leluhurnya. Juga menjadi harapan untuk perdamaian yang abadi di bumi Melanesia itu. Oleh sebab itu terdapat berbagai upaya negara untuk melemahkan, mematikan dan mengacaukan konsentrasi para calon perubahan masa depan bangsa Papua tersebut. Dengan cara infiltrasi, adu domba dan tindakan represif aparat keamanan. 

Singkat  cerita IMAPA Jakarta tidak berjalan (vakum) selama sepuluh tahun dimulai dari 2010, ketika itu di bawah kepengurusan Edim Pahabol. Dengan melihat roda organisasi yang tidak berjalan itu, beberapa senior membentuk Tim Inisiator bertujuan untuk kembali menghidupkannya lagi. Beberapa upaya sudah dilakukan hingga akhirnya berhasil bangkit lagi pada 2020. Tim ini terdiri dari Jhon Timepa, Roland Levi, Vicky Tebay, Yosua Hiluka, Yugo dan beberapa senioritas lainnya. Waktu itu direncanakan untuk melaksanakan Musyawarah Besar (MUBES) ke-VI, maka dibentuklah Tim Formatur. Pertemuan pembentukan Tim Formatur dilaksanakan di Asrama Wissel Meren Jakarta pada 10 September 2020. Dihadiri oleh berbagai paguyuban mahasiswa Papua dari Sorong-Merauke. Karena keterbatasan waktu dan persiapan maka untuk memilih Tim Formatur hanya dibutuhkan kesukarelaan. Akhirnya waktu itu Tim Formatur yang mengajukan diri antara lain Rudi Kogoya (Ketua) dan Immanuel logo (Sekretaris). Mereka dibantu oleh berbagai divisi yang diisi oleh Marthen Yeimo, Christina Kogoya, Fitri Kogoya, Maseko Ginia, Mapri Kogoya, Kelvin Maolama, Beto Adi dan beberapa kawan-kawan lainnya. Tim ini kemudian bertugas untuk mengkonsolidasi mahasiswa Papua yang ada di Jakarta dan sekitarnya dan menyiapkan berbagai kebutuhan administratif saat persidangan Mubes.

Sidang Mubes akhirnya berlangsung tepat pada 13 September 2020 di gedung PMKRI Cabang Jakarta Pusat. Mubes yang dijalankan dalam waktu satu hari itu dihadiri oleh ratusan mahasiswa/i Papua dari berbagai kota ada yang datang dari Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Dari hasil sidang yang dipimpin oleh Yos Elopere, Ambrosius Mulait dan Rudi Kogoya ini ditetapkan perubahan nama IMAPA Jakarta menjadi IMAPA Se-Jadetabek. Dengan pengurus terpilih Matius Wonda sebagai ketua dan Yotam Wanena wakil ketua. Ketika itu saingan ketua terpilih adalah Patrice Matuan, dengan perbedaan suara sekitar 30% dari 250 mahasiswa kota studi Jakarta. Demi menjaga netralitas karena banyaknya massa yang hadir dari luar kota maka hanya mereka yang berkuliah di Jakarta yang berhak memilih. Sehingga diperlukan penyaringan. Para peserta sidang disaring dengan cara mengundang beberapa perwakilan senioritas yang  ditunjuk pimpinan sidang untuk menjadi penyaring, hingga akhirnya 250 peserta yang berhak ikut pemilihan.

Sayangnya dalam perjalanan kepengurusan kali ini juga terlihat seolah mengarah kepada kevakuman. Seperti yang telah digambarkan di atas, terdapat berbagai kepentingan yang mencoba untuk memecahkan upaya persatuan mahasiswa Papua di luar Papua. Kepengurusan Matius Wonda akhirnya didesak untuk segera mengadakan Mubes ke-V setelah hampir dua tahun tidak dilaksanakan. Padahal batas kepemimpinan hanya dua tahun. Juga banyak program kerja yang tidak dijalankan. Karena situasi ini Ia bersama semua anggota kepengurusan didesak oleh berbagai koordinator wilayah (Korwil) paguyuban mahasiswa Papua yang ada di Se-Jadebek. Sehingga akhirnya dilaksanakan dan terpilihlah John Gobay dan Abraham Atanay sebagai ketua dan wakil. 

Tulisan ini dibuat sebagai bahan refleksi bersama untuk melihat tantangan yang kini dihadapi IMAPA Se-Jadetabek. Dengan dualisme yang sebenarnya hanyalah bagian dari agenda negara untuk memecahkan persatuan mahasiswa/i Papua. Di tengah hantaman investasi yang merampas tanah adat, operasi militer, pembunuhan dan rasisme yang terus mengakar di tanah air. Jika ada kesalahan penyebutan nama, atau ada yang terlewatkan harap diberi masukan dan dibaharui dari waktu ke waktu.  

IMAPA Se-Jadebek Hari Ini

Musyawarah besar Ikatan Mahasiswa Papua ke-VIII yang dilaksanakan pada 29-31 Agustus dengan Aslan Wenda paslon 01 dan Semifon Kambue sebagai paslon 02. Berujung pada muarah yang tak diinginkan bersama, jauh dari ekspektasi. Memang Mubes bisa dibilang “Kompetisi Politik Mahasiswa”. Di sana terdapat proses kampanye, sosialisasi perjanjian, hingga pemilihan dan itu legal sebagai cara untuk mempengaruhi massa. Namun Mubes kali ini dianggap paling “berlebihan dan meresahkan” menurut mayoritas mahasiswa/i Papua Jakarta karena berbagi solusi yang dilakukan dianggap gagal dan saling mengklaim sebagai pemenang yang berujung pada dualisme dalam satu organisasi. Dualisme terlihat dari pendirian organisasi tandingan, hingga klaim yang berlebihan menjadi satu rentetan peristiwa yang menyimpan sejumlah kecurigaan. Salah satunya dugaan keterlibatan kelompok kepentingan pihak tidak bertanggung jawab.

Aksi tersebut menuai kritikan dan muncul sejumlah pertanyaan besar di kalangan mahasiswa Papua: Apakah Mubes sudah dilakukan sesuai mekanisme organisasi? Mengapa mereka berinisiatif untuk membuat IMAPA baru? Apakah keputusan tersebut sejalan dengan semangat berdirinya IMAPA?  Apakah ada indikasi kelompok kepentingan bermain di balik mereka dan bagaimana sikap yang mesti diambil oleh mahasiswa Papua? Simak penjelasan berikut.

Mubes Berjalan Sesuai Mekanisme Meski Sempat Ricuh di Penghujung Acara

Secara keseluruhan agenda mubes berjalan lancar sesuai mekanisme organisasi walaupun di penghujung acara ada perdebatan dan berujung ricuh. Namun ada beberapa hal yang tak bisa dipungkiri seperti: perbedaan pendapat, perdebatan, hingga perkelahian. Dalam Mubes ia merupakan hal yang sering terjadi, justru karena ada perdebatanlah keputusan yang terbaik dapat dihasilkan. Namun berbeda dengan apa yang terjadi dalam Mubes kali ini dimana salah satu pihak tidak ingin mengalah, padahal jika dilihat dari perspektif berjalanya mubes mereka adalah pihak “kalah“ . 

Mengapa? Sebetulnya inti permasalahan terletak pada proses pemilihan ketua. Beberapa peserta mengusulkan agar pemilihan dilakukan berdasarkan KTP sebagai bukti legal yang memilih adalah orang yang tinggal di Papua. Kemudian forum menyetujui hal tersebut saat pembahasan tata tertib dan AD/ART. Namun saat pemilihan kubu paslon 01 tidak menginginkan hal tersebut dan mengundurkan diri dengan meninggalkan ruangan sidang dengan dalil “diskriminatif”. Mestinya mereka harus beradu perdebatan atau dialektika saat pembahasan point tersebut. Itulah ruang kita sebagai mahasiswa atau kaum intelektual yang belajar dan berpikir.

Jika dilihat dari perspektif kritis hal tersebut wajar. Hal yang pertama karena poin tersebut  disepakati forum sementara disisi lain ada kecurigaan bahwa massa bayaran yang didatangkan oleh paslon 01 adalah orang-orang non-Papua yang semakin mendominasi ruangan Mubes. Dengan alasan wajah-wajah mereka jarang dilihat dan terlibat dalam kerja nyata seperti pertemuan, selama berjalannya organisasi namun mereka muncul hanya ketika Mubes berlangsung. Hal ini tentu saja menjadi satu poin yang patut dipertanyakan.

Kembali ke pertanyaan awal apakah Mubes berjalan dengan sesuai mekanisme jawabanya adalah “iya” ia berjalan sesuai mekanisme organisasi. Namun sayangnya masih ada saja oknum-oknum yang tidak ingin mengalah dengan sikap dan dalil argumen yang dangkal, penuh kontroversi. Sementara dasar pertimbangan keputusan adalah 75% peserta Mubes, kehadiran pimpinan sidang tetap dan satu anggota pimpinan sidang, kehadiran dua pengarah dan ketidakhadiran paslon 01 diberikan waktu toleransi selama 5 jam lebih. Maka secara mekanisme organisasi memenuhi syarat untuk melanjutkan Keputusan dan jalannya mubes.

Berujung Pada Pendirian Organisasi Ilegal

Deklarasi ataupun pendirian suatu wadah pemersatu seperti IMAPA membutuhkan legalitas dan legitimasi dari wadah yang sudah ada lebih dulu. Hal Itu pun harus direkomendasikan pihak terkait dan harus memenuhi sejumlah syarat salah satunya Sumber Daya Manusia [SDM] baik secara kuantitas maupun kualitas—yang nanti menjadi penggerak utama dalam menjalankan roda organisasi dan memberikan surat rekomendasi atas dasar kesepakatan bersama. Dalam kasus ini, pihak yang kalah (paslon 01) sempat mendirikan IMASEPA- JADETABEK sebagai wadah tandingan IMAPA. Juga sebagai reaksi kekecewaan terhadap jalannya Mubes dan terpilihnya paslon 02 sebagai ketua IMAPA. Namun keputusan tersebut sempat dibatalkan melalui forum.

Salah satu pendukung paslon 01 mengatakan “Pendirian IMASEPA merupakan aksi kekecewaan kami bikin IMASEPA begini supaya ada solusi untuk kedua belah pihak” ujarnya. Rencana tersebut dibatalkan di forum karena dinilai akan berdampak pada persatuan IMAPA- JADETABEK kedepan.

Tidak lama kemudian kelompok ini nampaknya tidak mau mengalah —semakin menjadi-jadi dan mengingkari kesepakatan bersama dan mulai bermuara pada dualisme. Maka organisasi yang didirikan tersebut “ilegal” karena belum pernah ada legitimasi dari 22 organisasi kedaerahan yang berbasis di wilayah JADETABEK dan rekomendasi dari IMAPA JADETABEK sebagai wadah mahasiswa Papua di Jadebek yang berdiri sejak 1970 ini.

Fakta-Fakta Saat Mubes Berlangsung

Awal munculnya kecurigaan terhadap kelompok ini mulai terlihat jauh sebelum Mubes berlangsung dimulai dengan penawaran sejumlah uang kepada mereka yang dianggap berpengaruh seperti senioritas dan badan pengurus organisasi kedaerahan.

Salah satu anggota Paguyuban dari kubu paslon 01, sempat memberitahukan bahwa timnya akan difasilitasi bus beserta sejumlah kebutuhan lainya saat Mubes berlangsung. Sejumlah anggota bahkan badan pengurus sebelumnya pernah mengalami hal yang serupa—artinya kelompok oportunis ini selalu hadir di forum mahasiswa Papua Jakarta dengan dalih kepentingan “mahasiswa Papua”. Kesaksian serupa juga diceritakan seorang badan pengurus sebelumnya. “Saya juga pernah ditawarin hal serupa, dan sejumlah fasilitas, namun saya menolak semua. Karena saya tahu dampak kedepannya sangat besar”.

Inti poin dugaannya justru terlihat lagi saat kampanye dan sosialisasi ke setiap paguyuban, penawaran uang kepada sejumlah orang, penggunaan fasilitas seperti bus, dan mobil yang membuat sebagian mahasiswa merasa heran karena dianggap  “melampaui kapasitas sebagai mahasiswa dalam hal keuangan”. Ditambah lagi dengan pendropan massa dalam jumlah yang besar di malam hari saat acara berlangsung yang diduga bukan orang Papua. Namun, kubu paslon 01 mengklaim bahwa massa tersebut berasal dari dari Fak-Fak Papua Barat. Sayangnya klaim tersebut berbeda dengan yang disampaikan oleh salah satu peserta dalam masa tersebut bahwa dirinya bukan berasal dari Papua melainkan dari Maluku. Sementara fakta yang berbeda disampaikan juga oleh panitia registrasi bahwa—sebagian besar dari massa tersebut sempat bingung saat ditanyain asal kampus mereka.

Apakah Ada Keterlibatan Kelompok Kepentingan Dibalik Mereka Ini ?

Semua rentetan peristiwa di atas tentu akan memicu satu kecurigaan bahwa yang dilakukan oleh paslon 01 merupakan satu manifestasi yang diduga ada unsur “kepentingan” yang dikontrol “Mastermind-nya” yang bermain di belakang —sementara mereka hanya dijadikan objek atau tameng yang diperhadapkan dengan sesama anak Papua (konflik horizontal). Langkah tersebut sangat berpotensi menjadi corong untuk melegitimasi kekuasaan maupun kepentingan tertentu dengan dalil “kepentingan bersama”—berbeda dengan semangat berdirinya IMAPA sebagai wadah pemersatu juga menjadi penyambung lidah aspirasi rakyat Papua yang saat ini diperhadapkan dengan berbagai masalah.

Tak bisa dipungkiri bahwasanya jelas ada dugaan kelompok Oportunis yang tampaknya sangat berambisi untuk merebut kursi ketua IMAPA dengan segala seluk-beluk permainannya. Sebagaimana kesaksian yang dikatakan oleh salah satu mantan pengurus lama bahwasanya “Kelompok Oportunis tersebut selalu ada di setiap kali Mubes (IMAPA)”. 

Jika dilihat dari perspektif yang lebih kritis maka kejanggalan ini lebih relevan dengan konsep “Devide et Impera” siasat politik adu domba yang  dipraktikkan oleh kolonial Belanda terhadap Indonesia pada masa kejayaan VOC. Sederhananya konsep ini merupakan siasat politik pecah belah, dengan kombinasi strategi ekonomi politik yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah belah kelompok. Yang dianggap besar dan berpengaruh menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan dan dikuasai.

Dalam kasus IMAPA, kelompok oportunis adalah dalang (mastermind) yang berupaya bersekutu dengan pihak yang dianggap akan memberikan imbalan ( Perjanjian Politik ) dan ingin menyingkirkan pihak yang dianggap “penghalang” untuk meloloskan juga melegalkan kepentingan mereka. Sebagaimana dilakukan VOC memanfaatkan masalah internal perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan anaknya Sultan Haji dalam kasus perebutan tahta kesultanan Banten. VOC membantu Sultan Haji menggulingkan ayahnya sendiri, dan sebagai imbalannya VOC mendapatkan hak monopoli perdagangan lada di Banten dan menyingkirkan pengaruh Ayahnya Sultan Ageng Tirtayasa yang anti VOC. Kasus tersebut pernah ditulis dalam buku Arkeologi Islam Nusantara (2009) yang ditulis oleh Uka Tjandrasasmita, bahwa latar belakang perlawanan Banten didorong oleh adanya dua keinginan utama salah satunya adalah kepentingan VOC untuk memonopoli perdagangan di kawasan pesisir Pulau Jawa.

Bagaimana Seharusnya Mahasiswa Papua Bersikap?

Berangkat dari kondisi realitas di Papua yang semakin hari semakin memprihatinkan serta arus globalisasi dan isu geopolitik yang terus mencengkam, mestinya forum yang diadakan dua tahun sekali ini menjadi ruang ide, gagasan dan perdebatan dialektika untuk melihat masalah yang lebih besar terutama kaitannya dengan tanah Papua hari ini. Dimana jutaan hektar tanah adat diubah menjadi kebun sawit, operasi militer yang ilegal, rencana investasi tambang yang merusak dan rasisme yang tumbuh subur. Yang semuanya mengarah kepada kepunahan budaya, ekonomi, politik dan jiwa orang asli Papua sebagai bangsa Melanesia.

Eksistensi IMAPA Se-Jadebek yang saat ini berada di jantung ibu kota Indonesia tentu menjadi pembeda dengan wadah IMAPA di kota studi lainnya. Mengapa? Sebab Jakarta adalah tempat diproduksinya siasat ekonomi politik, media, bisnis serta seluruh pusat sektoral yang terintegrasi termasuk kebijakan nya yang selalu kontra dengan kebutuhan orang Papua. Dengan dengan melihat realitas tersebut maka kalimat yang tepat untuk mengibaratkannya  “pedang bermata dua” dimana satu sisi IMAPA punya kekuatan besar untuk menyatukan mahasiswa termasuk merespon situasi di Papua sebagai wadah representasi rakyat. Tetapi juga, kondisi dan wadah ini bisa dilihat sebagai alat oleh kelompok oportunis untuk mendapatkan keuntungan pribadi. 

Dengan kesadaran penuh sebagai mahasiswa/i Papua yang saat ini memegang harapan dan mandat sebagai penyambung lidah aspirasi rakyat Papua mesti mengedepankan “Critical Thinking” dalam hal menyikapi isu-isu yang berbau politik serta menunjukan pola pikir nasionalis Papua dan jangan terperangkap dalam hegemoni kelompok oportunis. Jadilah bangsa yang bermartabat dengan tidak menjual harga diri, kawan dan orang tua. Mari bersatu kita ciptakan tanah Papua yang damai bagi orang Papua itu sendiri dan semua manusia dan makhluk yang hidup di atasnya. 

More From Author

Siaran Pers: Stop Operasi Militer di Teluk Bintuni!

Epistemic Seduction: Pendekatan Peneliti Melahirkan Bayi Mati dalam Kandungan

Tinggalkan Balasan