#SaveRajaAmpat Belum Menang: Raksasa Terakhir Masih Aktif

Euforia Kemenangan yang Menyembunyikan Ancaman Lebih Besar

Oleh Stevanus Ambokok

(Sumber gambar: @greenpeaceid)

Pada bulan Juni 2025, Pemerintah Indonesia melalui Presiden Prabowo Subianto mencabut izin usaha pertambangan (IUP) bagi empat perusahaan tambang nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keputusan ini dianggap sebagai kemenangan besar bagi masyarakat adat, pegiat lingkungan, dan organisasi masyarakat sipil yang selama ini menolak kehadiran tambang di wilayah konservasi laut terkaya di dunia. Tagar #SaveRajaAmpat kembali ramai di media sosial. Greenpeace bahkan menerbitkan visual kampanye bertuliskan tegas: “Kita Menang!”, menyambut keputusan pemerintah yang mencabut IUP milik PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining.

Namun, di balik selebrasi ini, satu pertanyaan besar muncul: Apakah kita benar-benar menang?

Faktanya, satu perusahaan tambang terbesar dan satu-satunya yang aktif berproduksi di Raja Ampat masih dibiarkan beroperasi. Ia bukan sekadar pemain kecil, tapi raksasa terakhir: PT GAG Nikel.

Simbol Kemenangan vs Realitas Lapangan

Pencabutan empat IUP memang langkah penting yang patut diapresiasi. Empat perusahaan tersebut terbukti melakukan berbagai pelanggaran: mulai dari penambangan di luar izin, eksplorasi tanpa dokumen lingkungan, hingga menyebabkan sedimentasi dan kerusakan ekosistem pesisir. Pemerintah akhirnya merespons tekanan publik, laporan Greenpeace, dan tuntutan masyarakat adat.

Namun, kemenangan ini hanya setengah jalan. Sebab PT GAG Nikel—perusahaan tambang dengan izin seluas 13.136 hektare di Pulau Gag—masih aktif dan dilindungi secara administratif. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa PT GAG Nikel tetap boleh beroperasi karena memiliki dokumen AMDAL dan lokasinya “jauh dari kawasan wisata Piaynemo”.

Inilah letak permasalahan: kita terjebak dalam logika legal-formal, yang mengukur ancaman hanya dari jarak ke tempat wisata atau kelengkapan dokumen administratif. Padahal, dampak ekologis dan sosial dari tambang tidak berhenti di garis batas izin atau radius turisme. Ekosistem Raja Ampat adalah satu kesatuan utuh. Sedimentasi dan pencemaran di Pulau Gag tetap berpotensi mengancam kawasan terumbu karang, perairan nelayan, dan kehidupan masyarakat adat yang tinggal di pulau-pulau kecil lainnya.

Raksasa Bernama PT GAG Nikel

PT GAG Nikel awalnya dimiliki oleh perusahaan Australia, Asia Pacific Nickel (APN), bersama dengan PT Aneka Tambang Tbk (Antam). Namun sejak 2008, seluruh saham APN diakuisisi oleh Antam, menjadikan PT GAG Nikel sebagai perusahaan tambang milik negara (BUMN).

Dengan izin Kontrak Karya yang berlaku hingga 2047, perusahaan ini menjadi satu-satunya penambang aktif yang tersisa di Raja Ampat. Luas konsesinya yang masif, ditambah statusnya sebagai BUMN, membuatnya terlindungi oleh kebijakan negara—bahkan ketika perusahaan-perusahaan lain dicabut izinnya.

Padahal, pembukaan lahan tambang di Pulau Gag telah mencapai hampir 190 hektar. Belum ada sistem pengelolaan limbah aktif karena perusahaan masih menunggu Sertifikat Laik Operasi (SLO). Artinya, meskipun sudah menggali nikel, perusahaan ini belum secara penuh memenuhi syarat lingkungan yang seharusnya dipenuhi sebelum operasi dimulai.

Argumen “Jauh dari Kawasan Wisata” adalah Ilusi

Salah satu justifikasi pemerintah adalah bahwa Pulau Gag jauh dari destinasi wisata utama seperti Piaynemo. Namun argumen ini mereduksi nilai suatu wilayah hanya berdasarkan potensi ekonominya sebagai objek pariwisata. Seolah-olah, jika sebuah pulau tidak sering dikunjungi wisatawan, maka ia bisa ditambang sesuka hati.

Ini adalah kekeliruan logika yang berbahaya. Pulau Gag adalah bagian dari ekosistem Raja Ampat. Ia memiliki hutan pesisir, mangrove, terumbu karang, dan masyarakat adat yang hidup secara turun-temurun. Merusak satu bagian dari tubuh yang utuh tetap akan berdampak pada keseluruhan. Maka dengan membiarkan PT GAG tetap beroperasi, kita membuka pintu bagi kerusakan sistemik yang lebih luas.

Argumen jarak ini juga mencerminkan bahwa pemerintah lebih tertarik melindungi citra pariwisata daripada menyelamatkan keutuhan ekologis dan hak masyarakat adat. Padahal, kawasan yang tidak masuk dalam brosur wisata justru sering kali menjadi tempat paling rawan dieksploitasi, karena tidak terlihat oleh publik luas.

Penolakan yang Tak Pernah Padam

Penolakan terhadap tambang di Pulau Gag bukan hal baru. Sejak awal tahun 2000-an, masyarakat adat suku Maya telah menyatakan keberatannya. Mereka menolak penambangan karena takut akan hilangnya tanah leluhur dan sumber penghidupan. Meski ada sebagian yang menerima tawaran pekerjaan dari perusahaan, banyak warga yang tetap teguh menjaga hutan dan lautnya.

Sayangnya, negara justru seringkali lebih mendengar suara investor dan indikator legalitas formal, daripada mendengar suara masyarakat yang hidup dan berjuang langsung di lapangan. Dalam sistem yang menempatkan dokumen di atas keberadaan hidup, perusahaan yang “lengkap secara administratif” selalu mendapat tempat, meskipun kerusakan yang ditimbulkannya nyata.

Raja Ampat Hanyalah Satu Bagian dari Luka Papua

Yang lebih penting untuk diingat: Raja Ampat bukan satu-satunya wilayah Papua yang dieksploitasi. Di seluruh Tanah Papua, ekspansi industri ekstraktif terus berjalan: tambang emas, nikel, minyak sawit, hingga pembukaan infrastruktur skala besar seperti jalan trans dan kawasan industri.

Banyak dari proyek ini berjalan tanpa persetujuan bebas dari masyarakat adat, tanpa studi dampak sosial yang memadai, dan seringkali dilindungi oleh militerisasi. Puluhan tahun Papua menjadi laboratorium eksploitasi sumber daya alam—sementara masyarakatnya tetap miskin, terpinggirkan, dan diabaikan.

Maka mencabut empat izin di Raja Ampat memang penting, tapi itu bukan akhir. Selama logika ekstraktif dan kolonialisme ekonomi masih berlaku, Papua akan tetap dilukai. PT GAG Nikel hanyalah satu contoh dari begitu banyak proyek yang didesain untuk mengambil sumber daya tanpa menjamin keadilan bagi penduduk asli dan perlindungan bagi alam.

Perjuangan Belum Selesai

#SaveRajaAmpat bukan sekedar kampanye satu kali. Ini adalah simbol perlawanan terhadap sistem yang menempatkan laba di atas keberlanjutan, dokumen di atas kehidupan, dan wisata di atas wilayah adat.

Selama PT GAG Nikel masih aktif, maka kemenangan ini belum utuh. Selama logika “jauh dari tempat wisata berarti boleh ditambang” masih menjadi dasar kebijakan, maka kita sedang memperluas preseden berbahaya yang meremehkan hak masyarakat adat dan integritas ekosistem.

Kemenangan sejati adalah ketika seluruh tanah adat dilindungi, bukan hanya yang berada dekat kamera wisatawan. Kemenangan sejati adalah ketika semua proyek tambang dievaluasi bukan dari legalitas administratif, tapi dari keadilan ekologis dan suara rakyat.

Maka hari ini, kita belum menang. #SaveRajaAmpat belum selesai. Raksasa terakhir masih aktif. Dan perjuangan harus terus hidup.

More From Author

Simbol Tak Cukup, Luka Masih Menganga: Menakar Žižek Lewat Fanon untuk Papua

Saat Kamera Konten Kreator Memperparah Stigma Negatif Orang Papua

Tinggalkan Balasan