Negara Dunia Ketiga: Penghapus Dosa Negara Maju dalam Balutan Donor

Oleh: Anlao

Belajar dari Dongeng: Didi dan Pote

Sebelum melangkah jauh, mari simak sebuah dongeng anak yang berasal dari suku Mee, Papua. Di suatu tempat, hiduplah seekor Didi dan seekor Pote dalam sebuah rumah. Didi bertubuh kecil seperti tikus dan selalu mencari rejeki di pelapukan kayu, dedaunan, serta cacing kecil di hutan. Pote, sejenis tikus kecil yang tinggal di pohon, terbiasa mencari makan di kebun orang. Meskipun sering membawa hasil yang lebih besar, Didi tahu bahwa mencari di kebun orang berarti mencuri hasil yang bukan miliknya.

Suatu pagi, Didi menawarkan kepada Pote untuk mencari makan bersama di hutan. Namun Pote menolak dan justru mengajak Didi ke kebun orang. Mereka berpisah. Didi tetap di hutan dan membawa pulang banyak rejeki. Tapi Pote tidak kembali. Esoknya, Didi menemukannya mati terjerat di kebun orang. Dengan air mata, Didi membawa pulang tubuh Pote, menjemurnya, dan menghidupkannya kembali dengan api dan kasih sayang. Sejak hari itu, Pote tidak pernah lagi mencuri di kebun orang.

Dongeng ini bukan sekadar cerita rakyat, tapi cerminan nilai-nilai ekologi dan etika lokal yang hidup di masyarakat Mee: tentang asal-usul rejeki, batas moral mencari nafkah, dan pentingnya hidup selaras dengan alam. Kisah ini bisa menjadi cermin tajam atas relasi global saat ini, di mana negara-negara maju justru berperan seperti Pote: mengambil apa yang bukan miliknya, lalu berharap bisa ditebus oleh negara lain.

Dunia Ketiga sebagai Penebus Dosa Ekologis

Di tengah kampanye global penghijauan dan penyelamatan iklim, muncul ironi besar: negara-negara dunia ketiga kini diposisikan sebagai penyelamat bumi, meskipun mereka bukan penyebab utama kerusakan lingkungan. Dana bantuan, proyek reboisasi, dan investasi hijau digelontorkan oleh negara-negara maju, seolah menjadi bukti tanggung jawab mereka. Namun jika dilihat lebih dalam, relasi ini bukanlah kemitraan sejajar. Ini adalah kelanjutan kolonialisme dalam wajah baru: kolonialisme hijau.

Apa yang tampak seperti aksi mulia untuk menyelamatkan bumi sering kali hanyalah upaya pemutihan dosa sejarah. Negara maju, setelah ratusan tahun mengeksploitasi sumber daya dari selatan global, kini meminta negara-negara bekas jajahan untuk menjadi “paru-paru dunia” dan menanggung beban penyelamatan ekosistem planet.

Eksploitasi dalam Balutan Ilmu

Sejarah kolonialisme tak bisa dilepaskan dari sejarah ilmu pengetahuan modern. Pemisahan antara subjek dan objek, antara manusia dan alam, antara pengamat dan yang diamati, melahirkan paradigma bahwa alam adalah sesuatu yang bisa dikuasai dan dieksploitasi. Ilmu pengetahuan yang tumbuh di Barat, terutama dalam kerangka Cartesian dan positivistik, meletakkan dasar bagi penguasaan alam secara sistemik.

Revolusi Industri menandai transformasi besar. Energi fosil menjadi pusat kehidupan modern. Negara-negara kolonial menjadikan tanah jajahan sebagai ladang bahan mentah. Hutan-hutan tropis dibabat, tambang digali, dan sungai dibendung demi mesin-mesin di London dan Amsterdam. Dalam proses ini, pengetahuan lokal disingkirkan. Kosmologi masyarakat adat dianggap tak ilmiah, kearifan ekologis mereka dipinggirkan.

Hingga hari ini, warisan itu masih hidup. Skema-skema lingkungan seperti REDD+, proyek karbon offset, dan konservasi berbasis pasar, dibentuk dalam logika yang sama. Negara donor mendesain, negara penerima mengikuti. Tanah-tanah adat dijadikan taman karbon, Taman Nasional, Hutan Lindung, bukan lagi ruang hidup.

Penyesalan yang Sarat Kuasa

Krisis iklim kini menjadi wacana utama politik global. Negara-negara maju, yang dulunya menyangkal krisis ini, kini justru tampil sebagai pemimpin solusi. Mereka bicara tentang transisi energi, netralitas karbon, dan investasi hijau. Tapi semua itu datang bukan dengan kerendahan hati, melainkan dengan syarat dan arah yang tetap mereka tentukan.

Dana bantuan lingkungan mengalir ke negara-negara berkembang, tapi seringkali disertai syarat politik dan teknokratis yang rumit. Pemerintah lokal diminta mengikuti standar pengukuran yang ditentukan lembaga internasional. Proyek-proyek konservasi ditentukan berdasarkan nilai pasar karbon, bukan kebutuhan komunitas lokal.

Di sinilah letak penyesalannya: ia tidak datang dalam bentuk reparasi atau pengakuan kesalahan, tetapi dalam bentuk pengaturan baru. Negara maju menyesal karena bencana mulai menimpa mereka sendiri—banjir di Jerman, gelombang panas di Kanada, kebakaran hutan di Australia. Tapi alih-alih menghentikan pola konsumsi mereka, mereka meminta dunia ketiga untuk menahan emisinya.

Pote, Didi, dan Logika Donor

Jika dalam dongeng Mee, Didi adalah representasi dari cara hidup yang rendah hati, setia, dan menghormati alam, maka negara dunia ketiga adalah Didi modern. Mereka hidup dalam keseimbangan, tapi tetap dituntut menyelamatkan bumi yang dirusak oleh Pote—negara maju.

Namun berbeda dari dongeng, Pote dalam dunia nyata tidak meminta maaf. Ia justru kembali ke rumah Didi, menawarkan bantuan yang mengikat, dan menulis ulang aturan hidup. Seakan-akan setelah mati dan dihidupkan kembali, Pote kini jadi pemimpin baru atas apa yang seharusnya dipelajari dari Didi.

Ironi inilah yang menjadikan relasi donor sangat bermasalah. Bukan hanya soal uang, tetapi soal kuasa, narasi, dan siapa yang dianggap punya otoritas atas solusi iklim. Dalam logika donor, yang memberi tetap berkuasa, yang menerima tetap harus berterima.

Ketimpangan dalam Proyek Hijau

Beberapa contoh konkret dari kolonialisme hijau bisa kita lihat di banyak wilayah: Di Papua, proyek konservasi seringkali menggusur masyarakat adat dari hutan tempat mereka berburu dan meramu. Hutan dijadikan taman nasional, tapi akses dikunci oleh lembaga asing. Di Afrika Tengah, program REDD+ menyebabkan masyarakat lokal kehilangan akses atas lahan pertanian karena dinilai sebagai kawasan karbon. Di Amazon, perusahaan energi membeli kredit karbon sambil tetap mengeksploitasi sumber daya fosil di tempat lain.

Skema-skema ini jarang mengakui pengetahuan lokal. Mereka lebih percaya pada satelit dan drone ketimbang cerita rakyat dan tata ruang adat. Padahal, sistem pengetahuan lokal jauh lebih kompleks dan terbukti mampu menjaga ekosistem selama berabad-abad.

Keadilan Iklim: Dari Pengakuan, Bukan dari Dana

Keadilan iklim sejati tidak bisa dibangun di atas logika filantropi semata, di mana negara-negara maju memberi dana seolah sebagai penebus dosa masa lalu. Sebaliknya, keadilan iklim harus berangkat dari pengakuan atas sejarah. Reparasi sejarah menjadi hal yang mendasar—yakni pengakuan bahwa kolonialisme dan eksploitasi sumber daya di masa lalu adalah akar dari krisis iklim hari ini. Selain itu, sistem pengetahuan masyarakat adat harus diakui bukan hanya sebagai bagian dari budaya, tetapi sebagai ilmu ekologis yang setara dan sah. 

Dalam konteks kebijakan global, negara-negara berkembang harus memiliki suara yang penuh dan setara dalam pengambilan keputusan, bukan sekadar pelaksana proyek yang telah dirancang dari luar. Terakhir, praktik perampasan ruang hidup atau green grabbing atas nama konservasi atau proyek karbon harus dihentikan. Keadilan iklim bukan soal berapa banyak dana yang ditransfer, tetapi seberapa dalam relasi kuasa dan sejarah diperbaiki secara setara.

Belajar dari Didi

Dongeng tentang Didi dan Pote menyimpan kebijaksanaan mendalam. Didi tidak menaklukkan alam, tapi hidup bersama alam. Ia tahu bahwa rejeki datang dari keselarasan, bukan dari penguasaan. Bahkan saat Pote meninggal karena kerakusannya, Didi tetap merawatnya dan memberinya kesempatan kedua.

Namun dalam dunia nyata, negara-negara maju yang telah merusak bumi tidak menunjukkan penyesalan dengan tulus. Mereka tidak datang dengan hormat, tapi dengan kontrak. Mereka tidak bertanya kepada Didi, tapi memerintahnya.

Sudah saatnya mulai mendengarkan suara Didi-Didi yang tersebar di seluruh penjuru bumi: dari hutan Papua, padang Sahel, hingga pegunungan Andes. Mereka bukan objek proyek. Mereka adalah penjaga bumi sejati. Jika dunia ingin sembuh, ia harus dimulai dari pengakuan. Bukan dari proyek donor, bukan dari sertifikasi hijau, tapi dari perubahan relasi. Pote harus belajar dari Didi, bukan memimpin Didi.

Dan seperti dongeng itu, dunia harus memilih: terus jadi Pote yang keras kepala, atau jadi Didi yang setia menjaga kehidupan.

Refrensi:

Yobee, Andreas. 2007. Struktur Cerita Rakyat dalam Kehidupan Masyarakat Suku Mee Papua (Penerapan Teori Vladimir Propp). Lombok: Arga Fuji Press.

More From Author

Laporan Sementara: Hasil Pemantauan Tim YKKMP terkait Penembakan yang terjadi di Aruli kampung Yeleas, Papua

Peran Teologi dalam Dalam Pembebasan Palestina

Tinggalkan Balasan