Refleksi Buku: Satu Dekade Revolusi Rojava Alternatif Demokrasi Representatif dan Negara-Bangsa

Oleh: Shinta Hubby

Buku Satu Dekade Revolusi Rojava menceritakan tentang perjuangan masyarakat Kurdi di wilayah Rojava, Suriah Utara, dalam membangun sistem hidup yang berbeda dari negara pada umumnya. Mereka tidak menggunakan sistem pemerintahan biasa, tapi membentuk komunitas-komunitas kecil yang mengatur hidup mereka sendiri secara demokratis dan setara. Di sana, perempuan punya peran penting, alam dijaga, dan ekonomi dijalankan secara kolektif-bukan dikuasai oleh segelintir orang kaya. Buku ini menunjukkan bahwa masyarakat bisa hidup mandiri dan adil tanpa bergantung pada negara atau sistem kapitalis. 

Deng bahasa yang ringkas dan isi yang padat, buku ini cocok untuk kawan-kawan yang mo (ingin) belajar tentang bentuk demokrasi dan kebebasan yang berbeda dari yang biasa kita kenal.

Bab 1 Menggugat Negara dan Demokrasi Representatif

Bab ini membuka dengan pertanyaan mendasar: apakah negara benar-benar dibutuhkan untuk menciptakan keadilan dan kebebasan? Penulis menyoroti bahwa di banyak tempat, negara justru menjadi alat kekuasaan yang mematikan partisipasi rakyat. Demokrasi yang berjalan lewat sistem Pemilu (Pemilihan Umum) dan wakil rakyat dianggap tidak cukup mewakili kebutuhan masyarakat secara langsung. Alih-alih menjadi ruang demokrasi, negara seringkali bertindak sebagai penjaga kepentingan elite politik dan ekonomi. 

Buku ini mengajak pembaca untuk membayangkan bentuk demokrasi lain yang dibangun dari bawah, langsung oleh rakyat, tanpa perantara partai atau birokrasi.

Simpelnya tuh penulis maksud kalau negara dan demokrasi perwakilan tuh bukanlah satu-satunya cara menjalankan pemerintahan. Jadi Kita bisa membayangkan bentuk demokrasi langsung yang lebih jujur dan adil.

Bab 2: Konfederalisme Demokratik sebagai Alternatif 

Di bab ini, Mashiro Shiina mengenalkan Konfederalisme Demokratik-suatu sistem yang dikembangkan oleh Abdullah Öcalan (pemimpin Kurdi yang dipenjara), dan diterapkan oleh rakyat Kurdi di Rojava. Sistem ini bukan negara, melainkan jaringan komunitas-komunitas lokal yang saling bekerja sama melalui dewan-dewan rakyat. Setiap komunitas bisa mengambil keputusan sendiri, tapi tetap saling terhubung untuk urusan bersama. Sistem ini juga menekankan pluralisme (pengakuan atas keragaman), ekologi, dan kesetaraan gender. Tidak ada presiden, tidak ada parlemen pusat, dan tidak ada tentara nasional.

Ini bukan utopia, tapi sistem nyata yang sudah berjalan selama satu dekade di Rojava.

Singkatnya Konfederalisme Demokratik adalah bentuk pemerintahan alternatif yang berbasis komunitas, bukan berbentuk negara. Ini memungkinkan untuk rakyat benar-benar mengatur diri mereka sendiri (menggunakan musyawarah begitu).

Bab 3: Perempuan di Jantung Revolusi

Bab ini adalah inti dari semangat Revolusi Rojava. Di wilayah yang sebelumnya didominasi patriarki dan kekerasan, perempuan kini menjadi kekuatan utama  perubahan sosial. Mereka membentuk organisasi sendiri seperti YPJ (Unit Perlindungan Perempuan) yang tidak hanya bertempur melawan ISIS, tetapi juga melawan sistem patriarki yang menindas perempuan sejak lama. 

Lebih dari sekadar partisipasi, perempuan di Rojava punya hak untuk membentuk dewan sendiri, mengajukan keputusan, bahkan memveto kebijakan yang mereka anggap tidak adil bagi perempuan. Mereka juga mengembangkan Jineologi-sebuah disiplin ilmu baru yang mengkaji sejarah, politik, dan budaya dari sudut pandang perempuan, sebagai respons atas bias laki- laki dalam ilmu pengetahuan selama ini. Konsep revolusi di Rojava tidak dipisahkan dari pembebasan perempuan. Justru mereka percaya bahwa tidak mungkin ada revolusi sejati tanpa membongkar sistem patriarki. Ini menjadi pelajaran penting bahwa perjuangan politik bukan hanya soal senjata dan tanah, tetapi juga soal relasi kuasa di dalam rumah, desa, dan pikiran kita sendiri. 

Yang perlu sa tekankan ada beberapa poin terkait jinelogy dan feminisme, seperti:

Feminisme adalah gerakan dan teori sosial yang berjuang untuk kesetaraan gender, menentang patriarki, dan memberdayakan perempuan di berbagai bidang kehidupan. Sedangkan, Jineology adalah ilmu sosial berbasis perspektif perempuan yang dikembangkan di Rojava. 

FOTO ANF News: Pasukan YPJ

Ini bertujuan untuk membangun pengetahuan baru dengan menekankan peran perempuan dalam sejarah, budaya, dan masyarakat,  serta mengubah cara kita memahami dunia yang sering terpinggirkan oleh patriarki. Feminisme berfokus pada kesetaraan hak, sedangkan Jineology berfokus pada menciptakan pengetahuan yang adil dan seimbang dengan mengutamakan kontribusi perempuan.

Bab 4 Ekonomi Alternatif

Bab ini menjelaskan bagaimana rakyat Rojava membangun sistem ekonomi yang adil tanpa kapitalisme. Mereka membentuk koperasi untuk produksi dan distribusi barang. Tanah dan sumber daya dikelola bersama untuk memenuhi kebutuhan, bukan untuk mencari untung. 

Meski menghadapi blokade dan serangan, masyarakat Rojava tetap berusaha menjalankan sistem ekonomi lokal yang tahan krisis, mandiri, dan berbasis solidaritas. Mereka juga berusaha menghindari ketergantungan pada uang dan pasar bebas. Namun, bab ini juga menyinggung kendala: ekonomi alternatif masih butuh waktu dan alat untuk berkembang, terutama di tengah perang. 

Simpelnya Rojava mencoba membangun ekonomi tanpa kapitalisme-berbasis kolektif, adil, dan mandiri. Bukan untuk keuntungan, tapi untuk kebutuhan bersama.

Bab 5: Tantangan dan Harapan

Bab terakhir ini menggambarkan berbagai ancaman nyata terhadap keberlanjutan Revolusi Rojava yaitu tekanan dari Turki, isolasi internasional, minimnya bantuan, dan risiko munculnya struktur kekuasaan baru di internal. Meski demikian, penulis tetap menyampaikan optimisme: Rojava telah membuktikan bahwa dunia lain mungkin.

Rojava adalah laboratorium hidup yang menunjukkan bahwa rakyat bisa hidup tanpa negara, kapitalisme, dan patriarki- asal ada kemauan dan solidaritas kuat. Di akhir bab, penulis juga memberi pesan bahwa pelajaran dari Rojava bisa menginspirasi gerakan di tempat lain, termasuk di Indonesia, Papua, dan komunitas adat yang tengah berjuang.

Sederhananya walaupun banyak tantangan, Rojava membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari komunitas kecil. Model ini bisa jadi inspirasi bagi gerakan lain di dunia. 

Lalu bagaimana kita jadikan ini sebagai cermin untuk perjuangan orang papua?

Sa ada beberapa pertanyaan sederhana yang mungkin kawan2 bisa respon dan berikan jawaban.

  1. Apakah mungkin sistem seperti ini diterapkan di Indonesia, khususnya di komunitas-komunitas adat atau wilayah perjuangan seperti Papua? 
  2. Apa tantangan terbesar kalau kita ingin  membangun sistem demokrasi langsung seperti di Rojava?
  3. Apakah perjuangan kemerdekaan harus selalu berujung pada pendirian negara-bangsa, atau ada bentuk lain seperti yang dicoba di Rojava?

More From Author

Papua: Tanah Keindahan yang Dihantam Krisis HIV 

Alkoholisme di Papua: Bukan Budaya Asli

Tinggalkan Balasan