Alkoholisme di Papua: Bukan Budaya Asli

Oleh: Glorya Margareth 

Anggota Samapta Polres Jayawijaya saat melakukan penertiban terhadap orang mabuk dan beberapa kelompok masyarakaty yang mengkonsumsi miras. (foto:Denny/ Cepos)Anggota Samapta Polres Jayawijaya saat melakukan penertiban terhadap orang mabuk dan beberapa kelompok masyarakaty yang mengkonsumsi miras. (foto:Denny/ Cepos)

Alkoholisme di Papua bukan budaya asli, tapi dampak kolonialisme dan kargoisme
yang merobek komunitas dari dalam.

Halo kam! Tong mau bahas soal yang serius tapi penting sekali nih, terutama buat tong yang peduli sama nasib orang Papua dan komunitas Melanesia secara keseluruhan. Alkoholisme—atau kebiasaan minum minuman keras sampai kecanduan—itu sering dikira sebagai bagian dari budaya Papua. Tapi, benarkah? Atau ini cuma efek samping dari sejarah panjang yang penuh luka, seperti kolonialisme dan kargoisme? Tong akan gali lebih dalam, cari tahu akar masalahnya, lihat dampaknya yang bikin tong pu komunitas tercerai-berai, dan tong coba cari solusi yang berbasis tong pu budaya sendiri. Ayo mari, tong mulai!

Alkohol dalam Budaya Papua: Ritual Bukan Kebiasaan Sehari-hari

Pertama-tama, tong harus paham dulu, apakah hubungan alkohol sama budaya Papua? Kalau tong lihat tradisi leluhur, minuman beralkohol itu memang ada, tapi bukan sembarang dipakai. Di banyak komunitas Papua, seperti pada orang Kimaam atau di kalangan orang Marind, minuman seperti “Wati” yang punya karakter psikoaktif itu dipakai dalam ritual adat. Misalnya, pas upacara adat atau perayaan tertentu, mereka minum secukupnya sebagai simbol persatuan atau untuk menghormati leluhur. Jadi, ini bukan soal “mari tong minum sampai mabuk”, tapi lebih ke arah nilai spiritual dan kebersamaan. Di Melanesia lain, seperti di Vanuatu atau Solomon Islands, juga ada tradisi serupa—mereka punya Kava, minuman tradisional yang diminum dalam upacara untuk bikin orang rileks dan mempererat hubungan sosial.

Tapi, yang tong lihat sekarang ini jauh beda. Banyak orang Papua sekarang minum minuman keras—bukan yang tradisional, tapi dari toko-toko alkohol seperti Bir, Wiski, atau Cap Tikus—dan dong minum sampai mabuk berat, bahkan sampai berkelahi atau baku bunuh. Ini yang bikin orang bilang,

“Wah, orang Papua kalau mabuk susah dikontrol.”

Padahal, kalau tong lihat sejarahnya, kebiasaan minum berat ini bukan tong pu budaya asli. Ini adalah hasil dari sesuatu yang jauh lebih besar: kolonialisme dan kargoisme.

Kolonialisme dan Kargoisme: Awal Mula Masalah

Mari tong ke belakang sedikit, ke zaman kolonial. Papua dan wilayah Melanesia lainnya pernah dijajah oleh bangsa Eropa, seperti Belanda, Inggris, dan Jerman. Pas mereka datang, dong bawa banyak hal, termasuk minuman keras. Alkohol tadinya bukan barang biasa di sini, tapi orang-orang kolonial memperkenalkan itu sebagai bagian dari “peradaban” mereka. Mereka kasih alkohol ke orang-orang lokal, kadang sebagai hadiah, kadang sebagai alat untuk bikin orang takut atau tergantung. Lama-lama, ini jadi kebiasaan baru. Orang Papua yang tadinya cuma minum Wati pas upacara adat, sekarang mulai minum alkohol keras buatan pabrik, dan mereka minum bukan buat ritual, tapi buat pelarian dari masalah hidup.

Nah, selain kolonialisme, ada juga yang namanya kargoisme. Apa itu kargoisme? Ini adalah kepercayaan yang muncul di Melanesia pasca-kolonialisme, di mana orang-orang lokal percaya kalau barang-barang modern (termasuk alkohol) yang dibawa orang kulit putih itu punya kekuatan magis atau bisa bikin hidup lebih baik. Mereka lihat orang Eropa minum alkohol, hidup mewah, dan punya banyak “cargo” (barang-barang modern), jadi dong pikir, “Kalau tong minum juga, mungkin tong bisa jadi kaya seperti mereka.” Ini yang bikin alkohol jadi simbol status, simbol “kemajuan”. Tapi, kenyataannya, ini malah bikin orang kecanduan, dan bukannya maju, tong malah hancur.

Dampak Alkoholisme: Komunitas Tercabik-cabik

Sekarang tong lihat dampaknya. Alkoholisme ini su bikin tong pu komunitas  di Papua dan Melanesia dapa robek dari dalam. Pertama, dari sisi sosial. Banyak keluarga yang hancur gara-gara bapa atau suami kecanduan minum. Mereka habiskan uang buat beli minuman keras, sampai tra bisa bayar kebutuhan keluarga. Anak-anak tra sekolah, istri-istri jadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Di banyak tempat di Papua, seperti di Jayapura atau Wamena, tong sering mendengar cerita soal orang mabuk yang berkelahi, bahkan sampai ada yang mati. Ini bikin hubungan antarwarga jadi renggang, saling curiga, saling dendam.

Kedua, dari sisi budaya. Alkoholisme ini juga bikin tong pu tradisi luntur. Dulu, minum itu cuma buat ritual, tapi sekarang orang minum sembarangan, tanpa aturan. Ini bikin nilai-nilai adat yang dulu tong pegang erat-erat jadi hilang. Misalnya, konsumsi alkohol yang berlebihan su bikin lembaga adat seperti Ondofolo kehilangan wibawa. Orang-orang yang seharusnya jadi panutan malah ikut mabuk-mabukan, jadi siapa yang mau dengar nasihat dari dong?

Ketiga, dari sisi kesehatan dan ekonomi. Minum alkohol berlebihan itu bikin orang sakit—penyakit liver, jantung, sampai gangguan mental. Belum lagi, banyak generasi muda yang terjebak dalam pola konsumtif ini. Mereka habiskan uang buat beli minuman keras, padahal uang itu bisa dipakai buat hal yang lebih bermanfaat, seperti sekolah, ambil sertifikasi atau buka usaha kecil. Akhirnya, kemiskinan makin parah, dan komunitas kita makin tertinggal.

Aksi solidaritas pelajar West Papua di Dogiyai membentangkan sejumlah poster penolakan Miras, PSN dan transmigrasi ke Tanah Papua. (Supplied for Suara Papua)

Solusi Berbasis Budaya: Kembali ke Akar Tradisi

Sekarang, tong ke bagian yang paling penting: apa yang tong bisa lakukan? Sa percaya, solusi terbaik itu harus berbasis pada tong pu budaya sendiri, bukan cuma ikut-ikut cara orang luar. Tong punya kearifan lokal yang kuat, dan itu tong bisa pakai untuk lawan alkoholisme ini. Berikut beberapa langkah yang tong bisa coba:

  • Hidupkan Kembali Tradisi Adat yang Sehat

Tong bisa mulai dengan menghidupkan kembali tradisi minum dalam ritual adat, tapi dengan aturan yang ketat. Misalnya, di Papua, tong bisa ajak para tetua adat untuk mengatur ulang kapan dan bagaimana minuman tradisional seperti wati boleh dipakai. Ini harus dibatasi cuma buat upacara adat, bukan buat mabuk-mabukan. Di Melanesia lain, seperti di Vanuatu, mereka berhasil kurangi alkoholisme dengan promosi Kava sebagai alternatif yang lebih sehat. Kava itu bikin orang rileks tanpa bikin agresif, dan itu bagian dari budaya mereka. Tong di Papua juga bisa cari minuman tradisional lain yang tra bikin orang kecanduan.

  • Edukasi Berbasis Komunitas

Tong perlu edukasi yang melibatkan seluruh komunitas, terutama anak muda. Para tetua adat, pemuka agama, dan tokoh masyarakat bisa kerja sama untuk ceritakan dampak buruk alkoholisme, tapi dengan cara yang tra menghakimi. Tong bisa pakai cerita-cerita leluhur, tarian, atau lagu-lagu tradisional untuk sampaikan pesan ini. Misalnya, kita bikin drama adat yang ceritain tentang seorang pemuda yang hancur gara-gara mabuk, tapi akhirnya diselamatkan oleh komunitasnya. Ini cara yang lebih pas sama hati orang Papua, daripada cuma kasih ceramah (nasehat) biasa.

  • Ciptakan Alternatif Kegiatan Positif

Salah satu alasan orang minum itu karena dong tra punya kegiatan lain yang bikin dong senang. Tong bisa ciptakan alternatif dengan kegiatan berbasis budaya, seperti lomba tari tradisional, ukir-ukiran, atau olahraga tradisional. Di banyak kampung di Papua, seperti di Biak atau Sorong, orang suka main sepak bola atau voli. Kita bisa bikin turnamen antar kampung, kasih hadiah yang menarik, biar orang fokus ke situ, bukan ke minuman keras.

  • Libatkan Pemuka Agama dan Nilai Spiritual

Di Papua, banyak orang yang religius, baik Kristen, Islam, maupun kepercayaan tradisional. Tong bisa ajak pemuka agama untuk ingatkan orang tentang pentingnya menjaga tubuh dan jiwa, sesuai ajaran agama mereka. Misalnya, dalam Kristen, kita bisa tekankan bahwa tubuh itu “bait Tuhan”, jadi tra boleh dirusak dengan alkohol. Dalam kepercayaan tradisional, kita bisa ingatkan bahwa roh leluhur tra suka kalau keturunan mereka hancur gara-gara mabuk.

  • Aturan Komunitas yang Ketat

Tong pu komunitas harus bikin aturan bersama soal minuman keras. Misalnya, larang penjualan alkohol di kampung-kampung, atau batasi penjualannya cuma buat orang luar yang lewat. Ini sudah berhasil di beberapa tempat di Melanesia, seperti di Fiji, di mana komunitas lokal bikin aturan ketat soal alkohol, dan mereka berhasil kurangi angka kekerasan. Di Papua, tong juga bisa terapkan ini, tapi harus dengan musyawarah, biar semua orang setuju dan ikut jaga aturan itu.

  • Bersatu untuk Masa Depan yang Lebih Baik

Alkoholisme di Papua dan Melanesia itu bukan budaya asli kita. Ini adalah warisan pahit dari kolonialisme dan kargoisme yang su bikin tong pu komunitas tercerai-berai. Tapi, tong tra boleh cuma menyalahkan masa lalu. Tong harus ambil langkah nyata, pakai kekuatan budaya kita untuk lawan masalah ini. Dengan kembali ke tradisi yang sehat, edukasi berbasis komunitas, kegiatan positif, nilai spiritual, dan aturan bersama, tong bisa bikin Papua dan Melanesia jadi tempat yang lebih baik buat anak-cucu.

Mari tong jaga budaya, jaga komunitas, dan jaga masa depan. Jangan biarkan alkohol robek tong dari dalam. Bersama-sama, tong pasti bisa! Sa bilang, kita orang Papua kuat, kita orang Melanesia punya hati besar. Mari tong tunjukkan itu dengan cara yang bikin tong pu leluhur bangga.

More From Author

Refleksi Buku: Satu Dekade Revolusi Rojava Alternatif Demokrasi Representatif dan Negara-Bangsa

PAPUA TIDAK WAJAR SEPERTI INI !

Tinggalkan Balasan