Orang Papua dan Mitos Pribumi Pemalas

Oleh: Yohanzen Patrick Yolmen

Jika orang Papua benar-benar pemalas, mengapa mereka tidak punah dalam situasi perut lapar bahkan sejak masa lampau? Bukankah setiap generasi harus bekerja keras untuk dapat tetap bertahan hidup? Jika demikian, mengapa mereka (Orang Papua) dianggap pemalas? Apa standarnya?

Stigma buruk termasuk pemalas terhadap pribumi bukanlah sesuatu yang baru dalam logika penjajahan. Stigma ini adalah senjata dan alasan paling tidak logis yang selalu dipakai bangsa penjajah untuk mencuri sumber daya bangsa lain.

Misalnya: pertama, orang-orang Eropa dan Amerika telah membawa orang kulit hitam dari Afrika karena menganggap orang Indian (pribumi Amerika) sebagai Pemalas.

Kedua, Orang Inggris membawa para budak India dan Tionghoa untuk bekerja sebagai budak di kebun-kebun milik tuan-tuan Eropa di Melayu (sekarang Malaysia). Dalam Alkitab juga diceritakan bagaimana penderitaan orang Israel karena perbudakan orang Mesir, inilah praktek perbudakan karena Stigma malas yang dicatat oleh kitab suci (Kristen).

Demikian juga latar belakang diterbitkan sistem kerja paksa oleh Belanda terhadap orang-orang Pribumi Indonesia. Mengapa? Karena, orang Indonesia dianggap pemalas oleh bangsa Belanda, oleh sebab itu mereka harus dipaksa bekerja, dan bahkan membangun jalan 1000 kilometer sepanjang pulau Jawa (Anyer-Panarukan).

Dalam konteks sejarah orang Papua, stigma pribumi pemalas telah menjadi alasan dibawanya orang-orang dari pulau-pulau di Indonesia oleh Belanda ke tanah Papua dengan dalih transmigrasi, salah satunya di Merauke. Hal ini dikarenakan orang Marind (Suku asli Merauke) telah menolak untuk bekerja sebagai “budak” di tanah sawah milik pemerintah Belanda (saat ini daerah Kuprik).

Inilah cikal bakal lahirnya daerah-daerah yang kebanyakan ditempati oleh masyarakat transmigran di Kabupaten Merauke.

Secara filosofis, Marxisme memberikan landasan teori yang cocok untuk melihat fenomena ini. Analoginya akan seperti ini;

“Jika kebutuhan perut saya adalah 3 kali makan sehari, lalu saya hanya bekerja untuk dua kali makan sehari, maka saya adalah seorang pemalas. Namun jika saya telah bekerja dan kebutuhan makan saya rata-rata 3 kali sehari sudah terpenuhi, maka saya berhak untuk menolak bekerja diluar daripada kebutuhan perut saya atau anggota keluarga saya”

Nah, Penolakan-penolakan untuk bekerja diluar daripada kebutuhan itulah yang dianggap sebagai pemalas oleh masyarakat kapitalis. Karena dalam Ekonomi kapitalis, bekerja sebagai budak adalah sebuah aktifitas mulia, semen

tara bekerja sesuai kebutuhan tanpa menghasilkan surplus (keuntungan atau nilai lebih) produk adalah kejahatan.

Jadi sebagai orang Papua yang hidup dalam mitos-mitos buruk penjajah, termasuk orang Papua pemalas, adalah tidak benar.

More From Author

Usilina Epa; Isasai Resto dan Dekolonisasi Pangan

Membela Tanah Air, Tidak Sama dengan Membela Negara: Opini dan analisis Singkat Dengan Paradigma _Abdullah Öcalan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *