Sehabis bangun pagi, kami dikagetkan dengan riuh ramai dunia maya. Persoalannya adalah beberapa akun sosial media mengkontroversikan beberapa slide foto yang memperlihatkan momen yang mengganggu mereka.
Apa itu?
Ya, momen yang dimaksud adalah kedatangan Ibu negara Iriana Joko Widodo di bandar udara Sentani dalam rangka kunjungan kerja dan menghadiri puncak kegiatan Hari Anak Nasional 2024, di Kota Jayapura.
Secara visual, kita melihat sekelompok ibu-ibu yang berdiri membentuk jejeran, dengan senyum sumringah menyambut turunnya Ibu negara dari pesawat yang ditumpanginya. Beberapa perempuan non-Papua (pendatang dari nusantara) menggunakan pakaian adat Papua dengan kacamata dan sepatu sebagai atribut penyambutan.
Mengappa beberapa foto itu dianggap mengganggu beberapa netizen Papua?
Benar, keterwakilan dan representasi penduduk asli Papua sebagai pribumi, dan tuan rumah tanah Papua adalah nihil (sedikit atau bahkan hampir tidak ada).
Kenapa harus merasa terganggu dengan kondisi ini? ini alasannya, menurut kami.
1. Kita terganggu karena pengguna atribut pakaian adat Papua bukanlah pemilik asli dari atribut tersebut. Atribut tersebut haruslah melekat hanya kepada mereka yang diwariskan secara luhur oleh nenek moyangnya. Jika pengguna suatu atribut bukanlah pemilik aslinya, maka ini adalah simbol bahwa penggunanya “tidak ada” lagi.
2. Penyalahgunaan atribut sakral yang menuju pada aproproasi budaya. Apa itu aproproasi budaya? Aproproasi budaya terjadi ketika kita menggunakan bahasa, pakaian, atau hasil dari kebudayaan dan kekayaan komunitas lain dengan menambahkan dan mengurangi atribut yang ada pada atribut tersebut. Kacamata dan sepatu bukan bagian daripada atribut tersebut. Maka, ini adalah bentuk penghinaan terhadap orang Papua dan kebudayaannya sendiri.
3. Ramah tamah yang tidak sesuai dengan budaya orang Papua. Selain secara seremonial harus ada keterwakilan orang Papua, dengan atribut sakral seperti pakaian adat, bahasa dan manusianya sebagai implementasi dari filosofi : “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung” , ramah tamah juga harus sesuai dengan adat Papua. Umumnya penjemputan tamu kehormatan selalu dibalut dengan tarian penyambutan, bukan salam-salaman.
Salam-salaman bukan budaya Papua, bukan bentuk ramah tamah sesuai tradisi orang Papua. Ramah tamah sebagai bentuk apresiasi, kegembiraan atas kunjungan diekspresikan melalui tarian dan gerak tubuh. Kami melihat fenomena ini dan menemukan satu filosofi baru secara sarkastik berbunyi ; “Dimana tanah kita dipijak, disitu kitong diinjak”.
4. Momen ini menjadi simbol bahwa kita bukan lagi tuan rumah dari rumah besar ini. Kita ada di belakang rumah, memandang ke ruang tamu. Memandang dengan mata telanjang riuh suara para tamu. Kaki kita kotor untuk masuk ke dalam rumah kita sendiri.
Foto-foto kejayaan nenek moyang kita di masa lalu yang terpampang sudah mulai berganti. Kunci kamar tuan rumah sebagai benteng terakhir sudah dipegang oleh mereka yang datang bertamu. Status tuan rumah tidak lama lagi berganti. Kita adalah tamu dan mereka adalah tuan dari rumah. Kita adalah bekas tuan rumah yang baik.
Dari beberapa poin di atas, adakah kita mempertanyakan “Bagaimana hal demikian bisa terjadi?”
1. Konsekuensi dari apa yang kita lakukan dan apa yang tidak kita lakukan. seperti hukum tabur tuai yang kita yakini, inilah bentuk nyatanya dalam kehidupan kita sebagai Bangsa Papua. Kita menabur benih sebagai tamu, maka kita akan menuai hasil sebagai tamu. Kita sedari dulu melatih diri kita sendiri untuk mempraktikkan filosofi, tata cara hidup dan prinsip kita sebagai tamu. Maka, ini yang kita dapatkan. Jika konsekuensi ini “baik”, maka kita adalah Bangsa yang konsisten, disiplin dan berhasil untuk membentuk diri kita sebagai tamu.
2. Kita menormalisasikan hal-hal tersebut untuk terjadi. Terlepas dari moralitas baik dan buruk, ini adalah kondisi yang normal. Apa itu normal? Normal adalah satu istilah yang kita gunakan untuk menyebut sesuatu, fenomena atau peristiwa sebagai wajar atau benar karena frekuensi kemunculannya lebih banyak daripada yang tidak muncul. Misalnya, A dan B adalah suatu fenomena yang kita amati. Jika dalam pengamatan kita, A lebih banyak muncul dibandingkan B, maka A adalah wajar/normal dan B adalah tidak normal.
Seperti foto di atas, jika fenomena orang Papua berperilaku atau berpikir sebagai tamu seringkali terjadi dibandingkan fenomena sebaliknya, maka kita akan anggap kedatangan ibu negara tanpa representasi dari orang Papua beserta status pemilik tanah, atribut dan ramah tamahnya adalah normal.
3. Konsep Satu foto, seribu makna. Kita harus peka pada situasi dan makna dari foto yang ada. Dalam foto tersebut, kita akan lihat makna yang menyayat hati kita. Bahwasanya, kita mempercepat kiamat lebih awal.
Kiamat Ke-Papua-an kita dalam aspek Biologis Antropologis dan Sosiologis.
Ada satu pola tutur dalam satu interaksi lisan atau tertulis manusia, yaitu ; Setiap kalimat dengan tanda tanya ( ?) selalu ada tanda seru di kalimat setelahnya (!), artinya? Jika kita terganggu dengan situasi yang ada, maka bertanyalah dan mulailah berseru!
Kolonialisme Pemukiman (Settler Colonialism)
Konsep kolonialisme pemukim dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem penindasan yang didasarkan pada genosida dan penjajahan, yang bertujuan untuk menggusur populasi suatu bangsa (biasanya penduduk asli) dan menggantinya dengan populasi pemukim yang baru.
Konsep di atas menurut kami tepat dalam menggambarkan kehebohan ini. Orang Papua menjadi tidak berdaya dalam menjaga eksistensinya sebagai manusia yang berbudaya akibat dominasi yang dilahirkan melalui kekerasan. Kelompok pendatang ini terus dibutahkan dengan narasi NKRI Harga Mati, yang dibumbuhkan dengan pembangunan yang tidak menempatkan orang Papua sebagai subjek.
Kami hanya dijadikan objek dari segala macam perencanaan, dimulai dari kekerasan militer, penghancuran hutan, perampasan tanah adat hingga stigmatisasi. Orang Papua menjadi miskin dari proses tersebut hingga makin tidak berdaya dalam mempertahankan eksistensinya sebagai manusia berbudaya.
Hari ini kita sebagai generasi muda Papua menjadi sadar bahwa tanah Papua tidak baik-baik saja, kami sedang dijajah. Dijajah secara mental dan fisik. Untuk mengakhiri semua ini kita hanya perlu sadar dan mulai bersuara untuk pembebasan.
Referensi
Institute, Legal Information. “Settler Colonialism.” Google.com, 2024, www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=www.law.cornell.edu/wex/settler_colonialism&ved=2ahUKEwivxOWxi7yHAxWqwTgGHQqFKloQFnoECBkQAw&usg=AOvVaw2AKvBmwqOFCjjqkqxe9z8c. Accessed 4 Dec. 2024.
#PapuansPrespective #PapuansLivesMatter