Stereotip Jahat dibalik Narasi “Suku” Terhadap Orang Papua

Oleh: Yohanzen Yolmen

Seorang Ilmuwan ternama seperti Albert Einstein pernah mengatakan:

“Lebih mudah membongkar sebuah Atom daripada membongkar sebuah Prasangka”

Kali inilah kita akan menjadi seorang Albert Einstein untuk membongkar sebuah atom yang kita namakan “Suku” bertindak sebagai prasangka dengan konotasi buruk dan jahat.

Apa itu prasangka?

Prasangka adalah suatu konsep penilaian, dugaan, immature thoughts dengan kesimpulan yang umumnya dilekatkan secara umum terhadap suatu ras, kelompok agama, atau keadaan fisik seseorang. Nah, dalam konteks Ke-Papua-an, kata atau umpatan “Suku” adalah bagian daripada prasangka yang negatif, kotor dan jahat dengan dasar sepihak untuk men-generalisir Orang Papua beserta Identitas pikiran, tubuh dan perilakunya ke dalam kesimpulan-kesimpulan yang bermaksud merendahkan, menghujat, dan diskriminatif.

Prasangka selalu memiliki kesimpulan sebagai puncak dari proses berpikir sepihak tadi. Puncak daripada pikiran dengan dominasi prasangka cenderung memiliki umpatan. Nah, umpatan adalah suatu istilah yang secara singkat menggambarkan kesimpulan-kesimpulan tadi. Misalnya, dalam sejarah perbudakan Bangsa Kulit Hitam Afro-Amerika, kumpulan kesimpulan dari prasangka negatif yang disusun oleh Orang Kulit Putih, diucapkan dalam umpatan-umpatan singkat seperti “Negr*o atau “Nigg*a”, “Apes monyet)”.

Untuk konteks Penjajahan Belanda dan Rakyat Indonesia, segala bentuk prasangka negatif terhadap orang Indonesia sering diwakilkan dalam umpatan seperti ; “Inlander “ “Bumiputera” dan lain sebagainya.

Sementara itu, Orang Papua sebagai Pribumi tanah Papua, seringkali diprasangka-kan secara buruk dengan umpatan-umpatan yang berkonotasi negatif, seperti; kata/umpatan “SUKU”

Dari dua contoh di atas sebelumnya yaitu prasangka dan umpatan negatif dalam konteks Orang Kulit Putih terhadap Orang Afro-Amerika, serta Orang Kulit putih Belanda terhadap Orang Pribumi Indonesia, kita menemukan kesamaan-kesamaan yang juga mirip. Dimana umpatan itu lahir karena ada perbedaan persepsi antara orang yang melekatkan umpatan itu dengan orang yang dilekatkan umpatan itu. Dalam hal ini, kita bicara soal mental

penjajah-terjajah, penindas-tertindas, serta tuan-budak.

Penjajah, penindas atau para tuan sering merepresentasikan kesombongan dominasi dan kekuasan mereka melalui bahasa.Kembali seperti yang tadi kita bahas soal prasangka, bahwa kekuasaan yang menindas dimulai dan dirawat menggunakan bahasa/umpatan. Begitu juga, dengan kekuasaan yang menindas dengan prasangka buruk diwakili juga dalam bahasa yang kita sebut sebagai “Suku”.

Kata “Suku” adalah umpatan yang menggambarkan sistem berpikir penjajah dan penindas yang tidak manusiawi, busuk, jahat, dan super-negatif terhadap eksistensi orang Papua dalam segala aspek.

Kata “Suku” menunjukkan sejarah sejarah “Penaklukan” yang dialami oleh orang Papua.

Tentang “Ke-Primitif-an”dan Ketidakberdaban Orang Papua sejak dahulu yang terus dipelihara oleh Penindas.

Umpatan negatif ini terus dipelihara sebagai bentuk penekanan dominasi dan kontrol sosial penindas terhadap yang ditindas. Hal ini bertujuan untuk memadamkan mental “tuan tanah” dalam diri pribumi Papua.

Kata ini terus diucapkan karena secara tidak langsung menimbulkan keuntungan bagi si pengucap. Keuntungan itu harus dipelihara dan diwariskan kepada generasi selanjutnya, agar terjaga hubungan yang berkuasa dan yang dikuasa.

Penulis ingin sedikit berspekulasi, bahwa konsekuensi dari pengucapan kata “Suku” adalah apa yang kita lihat sekarang.

Kita malu pada diri kita sendiri.

Kita menerima secara buta apa yang diprasangka-kan secara negatif oleh penindas terhadap kita (Orang Papua).

Kita menerima kata “Suku” diucapkan kepada kita dan ikut-ikut mengakui bahwa kita adalah bangsa yang lemah, tidak mandiri, tidak beradab, tidak manusiawi, dan tidak baik dalam segala hal.

Kita dirawat untuk menjadi budak, tertindas dan penonton setia dalam panggung besar di atas tanah kita. Kita malu berbicara pada mereka karena kita meyakini kita tidak pantas berdiri di hadapan mereka.

Apa yang menyebabkan kemajuan dalam hal kesetaraan orang-orang kulit hitam di Amerika Serikat atau di negara-negara liberal /heterogen melangkah lebih jauh dibandingkan kita di negara dengan moto Bhineka Tunggal Ika, nilai-nilai Luhur yang katanya manusiawi ini ?

Satu saja, menurut hemat penulis, karena mereka berhasil mengintip sejarah dan mempertanyakan segala bentuk hubungan-hubungan tidak sehat, menilik kembali ; “apakah umpatan negarif seperti “N-Word” berdampak buruk terhadap saya?

Kata “Suku” adalah umpatan stereotip negatif yang berisi kesimpulan negatif tentang satu Bangsa yaitu Papua dengan eksistensi baik secara jiwa maupun tubuhnya.

Kata yang harus segera dikontroversikan (didebatkan) sesegera mungkin di dalam lingkungan sosial kita di Papua.

Kata yang menjadi momok bagi baiknya hubungan kita di atas tanah Papua.

#PapuanLivesMatter

More From Author

Ibu Iriana Joko Widodo, Ibu Wury Ma’ruf Amin, bersama para anggota Organisasi Aksi Solidaritas Era Kabinet Indonesia Maju (OASE KIM) tiba di Bandar Udara Sentani, Kabupaten Jayapura sekitar pukul 16.15 WIT, pada Senin, 22 Juli 2024. Foto: BPMI Setpres/Vico

TAMU TERIMA TAMU : HARUSKAH ORANG PAPUA TERGANGGU?

Rencana Transmigrasi di Papua: Wajah Kolonialisme Pendudukan Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *