Oleh: Aryo
Saya juga menyadari bahwa mengadopsi model konfederalisme demokratis bukanlah hal yang mudah, terutama dalam konteks Papua Barat yang berada di bawah tekanan berat dari negara kolonial. Ini membutuhkan dukungan solidaritas dari gerakan pembebasan lain, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Ketika saya mendalami karya-karya Abdullah Öcalan (Reber Apo), saya menemukan sudut pandang baru tentang pembebasan nasional yang jauh melampaui gagasan tradisional negara-bangsa. Öcalan menantang ide bahwa pembentukan negara-bangsa adalah satu-satunya solusi akhir yang harus dicapai secara mutlak bagi bangsa-bangsa terjajah. Sebaliknya, ia menawarkan konsep yang bisa menjadi pilihan awal atau tujuan utama yaitu: konfederalisme demokratis, sebuah model organisasi sosial berbasis komunitas yang menolak sentralisasi dan mengedepankan demokrasi langsung, ekologi, serta kesetaraan gender.
Pandangan ini telah mengubah cara saya melihat perjuangan pembebasan nasional, termasuk perjuangan Papua Barat. Sebagai seseorang yang tumbuh di Pulau Jawa, saya menyadari bahwa banyak aktivis disini cenderung ragu untuk secara terbuka mendukung perjuangan Orang Asli Papua (OAP), terutama jika perjuangan itu diarahkan pada pemisahan dari Indonesia yang masih didominasi mentalitas kolonial. Namun, dengan mendalami ide-ide Öcalan, keberanian, refleksi dan kritik-diri saya mulai tumbuh. Saya menyadari bahwa pembebasan sejati mengharuskan kita untuk mendukung hak setiap bangsa yang terjajah untuk menentukan nasibnya sendiri, membebaskan diri dari hegemoni negara sentralistik.
Ini dapat kita mulai dari Solidaritas, kenapa Solidaritas? Solidaritas merupakan akar yang tak tergantikan dalam perjuangan apapun. Solidaritas adalah tindakan kolektif yang memiliki tujuan strategis: menghancurkan – mendekonstruksi struktur penindasan dan membangun dunia yang lebih adil. Dalam konteks perjuangan Papua Barat, saya melihat pentingnya solidaritas ini sebagai cara untuk melawan narasi hegemoni dominan, memperkuat jaringan perjuangan, dan mengintegrasikan isu-isu lokal ke dalam kerangka keadilan global.
Öcalan menekankan bahwa sistem negara-bangsa modern tidak lebih dari mekanisme yang mengabadikan penindasan dan hierarki. Papua Barat adalah contoh nyata bagaimana negara-bangsa digunakan untuk mengeksploitasi sumber daya alam, menekan identitas budaya, dan menciptakan ketergantungan ekonomi. Dengan pendekatan sentralistik, negara Indonesia mempertahankan cengkeramannya di Papua melalui kekerasan struktural yang dilegitimasi oleh narasi nasionalisme dan stabilitas keamanan. Dalam situasi ini, solidaritas menjadi senjata untuk membongkar mitos negara-bangsa dan menggantinya dengan perspektif yang lebih demokratis dan desentralistik, seperti yang ditawarkan melalui konsep konfederalisme demokratis.
Solidaritas bukan hanya pemaknaan sempit tentang dukungan dari luar; ia adalah proses pembelajaran kolektif. Pengalaman Rojava, misalnya, yang saya pelajari menunjukkan bahwa komunitas lokal yang dipersenjatai dengan gagasan tentang demokrasi langsung, ekologi, dan kesetaraan gender mampu menciptakan alternatif yang nyata terhadap kuatnya hegemoni negara-bangsa. Saya percaya bahwa pendekatan serupa dapat diterapkan di Papua Barat. Sistem adat seperti ondoafi memiliki potensi untuk menjadi basis struktur konfederasi lokal, yang tidak hanya menghormati tradisi tetapi juga memperkuat kemandirian politik dan ekonomi komunitas Papua. Solidaritas internasional dapat memainkan peran penting dalam mendukung proses ini, baik melalui advokasi global maupun pertukaran ide dan strategi.
Solidaritas juga penting untuk melawan sistem kapitalisme global yang menopang penindasan di Papua. Eksploitasi sumber daya Papua, yang sering kali melibatkan korporasi multinasional, tidak hanya menguntungkan segelintir elite di Jakarta tetapi juga memperkuat sistem imperialisme ekonomi yang lebih luas. Dalam pemikiran Öcalan, penindasan semacam ini tidak bisa dilawan secara parsial; ia memerlukan gerakan kolektif yang mampu menghubungkan perjuangan lokal dengan isu-isu global. Mendukung perjuangan Papua Barat berarti mengambil sikap melawan kapitalisme global, imperialisme, dan segala bentuk dominasi yang menghancurkan komunitas lokal di seluruh dunia.
Selain itu, solidaritas memberikan dukungan moral dan psikologis yang tak ternilai bagi mereka yang berada di garis depan perjuangan. Di tengah represi militer dan isolasi politik, solidaritas menunjukkan kepada rakyat Papua bahwa mereka tidak sendirian. Hal ini penting tidak hanya untuk memperkuat semangat perjuangan kita, tetapi juga untuk mengurangi rasa terasingkan (alienasi) yang sering dialami oleh komunitas yang terpinggirkan. Öcalan mengajarkan kepada saya bahwa solidaritas adalah tindakan yang memberi harapan, dan dalam memberikan harapan itulah terletak kekuatan sejatinya.
Saya melihat bahwa solidaritas antara Papua Barat dan gerakan sosial lainnya, baik di Indonesia maupun internasional, adalah kunci untuk menciptakan perubahan yang sistemik – atau setidaknya mencegah kebuntuan dari perjuangan kita yang beragam dan saling terhubung. Ini bukan hanya tentang membantu Papua Barat, tetapi juga tentang membangun dunia baru yang lebih adil sesuai karakteristiknya masing-masing. Dalam solidaritas, kita tidak hanya mengadvokasi hak-hak mereka yang tertindas, tetapi juga memperjuangkan tujuan dasar bersama tentang masyarakat yang bebas dari hegemoni negara, kapitalisme, dan patriarki. Gagasan Öcalan tentang konfederalisme demokratis memberikan alat teoritis dan praktis untuk mewujudkan tujuan jangka panjang ini, menjadikan solidaritas sebagai langkah strategis untuk menciptakan dunia yang benar-benar demokratis dan manusiawi.
Banyak dari kita harus mulai memikirkan ulang untuk mulai mendukung Papua Barat, khususnya kaum Anarkis atau Internasionalis, karena ini berarti berusaha untuk melampaui batas-batas geografis, politik, dan ideologi untuk bersama-sama melawan sistem yang menindas.
Sementara itu seperti yang sudah disebutkan sedikit di atas, kita bisa membangun struktur pemerintahan alternatif dari teori-praksis konfederalisme demokratis yang diperkenalkan oleh Abdullah Öcalan, ini mungkin memiliki relevansi yang jauh lebih dalam bagi perjuangan pembebasan Papua Barat daripada Indonesia. Dalam memahami konteks Papua, saya melihat bahwa sistem negara-bangsa yang dipaksakan oleh Indonesia tidak hanya gagal menghormati hak-hak Orang Asli Papua (OAP), tetapi juga melanggengkan ketidakadilan struktural. Papua Barat telah lama menjadi korban eksploitasi ekonomi dan militerisasi berkepanjangan, dimana kontrol sentralistik Jakarta terus mengabaikan kebutuhan serta aspirasi masyarakat lokal. Teori Öcalan memberi saya perspektif baru yang cukup mendetail bahwa ada alternatif nyata untuk menantang dan melampaui model negara-bangsa ini – dan teori ini masih bisa terus dikembangkan.
Kenapa saya mempercayainya? Papua Barat memiliki kekayaan tradisi kolektif dan struktur sosial adat yang menurut saya sangat cocok dengan prinsip-prinsip dasar konfederalisme demokratis. Dalam sistem adat seperti ondoafi atau struktur kepemimpinan berbasis komunitas lainnya, saya melihat bagaimana nilai-nilai solidaritas, partisipasi kolektif, dan tanggung jawab terhadap lingkungan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Papua. Öcalan mengajarkan bahwa pembebasan sejati tidak memerlukan pembentukan negara-bangsa baru, melainkan melalui penguatan otonomi lokal dan pengorganisasian masyarakat berdasarkan kebutuhan nyata mereka. Dengan ini, saya percaya bahwa Papua Barat dapat membangun model alternatif yang tidak hanya lebih sesuai dengan budaya mereka, tetapi juga menantang dominasi kolonial Indonesia.
Saya mulai menyadari bahwa Papua Barat dan Rojava memiliki banyak kesamaan. Keduanya adalah wilayah yang berjuang melawan kekuasaan hegemonik yang tidak menghormati identitas lokal mereka. Rojava, di bawah panduan dan kepeloporan teori Öcalan, telah berhasil menciptakan model otonomi berbasis Konfederasi Komunal. Pengalaman bangsa kurdi memberikan kita contoh nyata bahwa perjuangan Papua Barat tidak harus terjebak-berfokus pada cita-cita mendirikan negara-bangsa baru yang sentralistik dan berpotensi menciptakan hierarki dan kekuasaan baru ditangan segelintir orang, ini bisa dimulai dengan tidak bertujuan pada negara, tapi berusaha membongkarnya – mengembangkan pemerintahan yang tidak hierarkis, melatih rakyat berkuasa.
Mengembangkan struktur yang memungkinkan masyarakat Papua untuk secara langsung menentukan nasib mereka sendiri, tanpa bergantung pada sistem sentralistik.
Sementara itu dalam konteks kesukuan saya juga melihat bahwa konfederalisme demokratis relevan dalam membangun solidaritas antar-suku di Papua Barat, yang sering kali dimanfaatkan oleh kekuatan eksternal untuk menciptakan perpecahan. Prinsip konfederalisme memungkinkan keberagaman ini dirayakan, bukan dijadikan alasan konflik. Dalam konfederasi komunal, setiap komunitas dapat memutuskan secara mandiri dalam hal yang menyangkut kehidupan mereka, sementara tetap terhubung dengan komunitas lain dalam kerangka solidaritas dan kerjasama. Bagi saya, ini adalah pendekatan yang jauh lebih manusiawi dan inklusif dibandingkan model negara-bangsa yang homogenisasi terpusat.
Pendekatan terhadap keadilan ekologis juga penting dalam struktur konfederasi. Papua Barat, dengan kekayaan alamnya yang luar biasa, terus dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan besar yang didukung oleh negara. Saya merasa bahwa sistem konfederalisme demokratis, dengan fokusnya pada keberlanjutan dan harmoni ekologis, menawarkan solusi nyata untuk melindungi lingkungan Papua sekaligus memastikan bahwa masyarakat lokal menjadi penjaga utama sumber daya alam mereka. Pendekatan ini juga memberikan peluang bagi Papua untuk menunjukkan kepada dunia bahwa pembangunan tidak harus merusak atau mengeksploitasi, melainkan bisa berbasis pada nilai-nilai kearifan lokal yang menghormati alam.
Namun, saya juga menyadari bahwa mengadopsi model konfederalisme demokratis bukanlah hal yang mudah, terutama dalam konteks Papua Barat yang berada di bawah tekanan berat dari negara kolonial. Ini membutuhkan dukungan solidaritas dari gerakan pembebasan lain, baik di tingkat nasional maupun internasional. Saya percaya bahwa inspirasi dari perjuangan Rojava bisa menjadi titik awal untuk kita berdiskusi, mengembangkan teori-praksis dalam konteks lokal dan membangun jaringan solidaritas yang lebih luas. Sebagai bagian dari upaya ini, bersama-sama kita harus memikirkan ulang dan berusaha mengajak kawan-kawan di berbagai wilayah untuk memahami bahwa pembebasan Papua Barat bukan hanya tentang Papua, tetapi juga tentang melawan sistem global yang mendukung penindasan dan eksploitasi.
Teori Reber Apo adalah oasis hidup ditengah keruntuhan sosialisme sejati yang mampu membuat kita berani membayangkan ulang apa artinya merdeka. Bukan sekadar bebas dari penjajahan, tetapi juga membangun masyarakat yang benar-benar adil, setara, dan berkelanjutan. Papua Barat adalah salah satunya yang memiliki semua elemen untuk mewujudkan ini: tradisi kolektif, solidaritas komunitas, dan kearifan lokal. Yang mungkin mereka butuhkan hanyalah ruang untuk bernapas dan berorganisasi tanpa belenggu negara sentralistik. Teori Öcalan memberikan saya kerangka berpikir yang membantu melihat bahwa dunia lain memang mungkin, dan Papua Barat bisa menjadi bagian dari visi itu.
Tulisan ini untuk semua yang merasa dirinya adalah bagian dari gerakan anti-kapitalis!