Oleh Zaqarias Tabuni, Suara Papua – 19 Nov 2019
Menanggapi Empat Akar Masalah Papua Menurut LIPI
Dalam bagian kedua ini, saya akan menguraikan pandangan LIPI mengenai empat akar masalah yang mereka anggap sebagai penyebab konflik di Papua. Kemudian, saya akan mengungkapkan perspektif saya sebagai orang Papua yang merasakan langsung dampak dari masalah ini.
Bagi saya, pandangan LIPI yang membagi akar masalah menjadi empat hanya sekadar menanggapi akibat-akibat yang muncul, dan tidak menyentuh akar permasalahan yang lebih mendasar, yakni bagaimana cara orang Indonesia memandang orang Papua. Penyelesaian yang sesungguhnya adalah mengubah cara pandang tersebut, bukan sekadar menanggapi akibat-akibatnya. Seperti yang diungkapkan oleh Almarhum Neles Tebay, “Padamkan apinya, bukan asapnya”. LIPI cenderung terjebak dalam menanggapi asapnya.
Mari kita telaah satu per satu:
1. Rasisme dan Diskriminasi yang Lebih Luas
LIPI menekankan akar masalah pada insiden rasialisme di Surabaya, namun saya berpandangan bahwa diskriminasi terhadap orang Papua jauh lebih luas dari itu. Otonomi Khusus (Otsus) sendiri sudah merupakan bentuk diskriminasi terhadap Papua. Misalnya, dibandingkan dengan Aceh yang diberikan ruang lebih untuk mengatur urusan mereka, Papua justru dibatasi ruang-ruangnya. Pemerintah pusat sering kali menyulitkan Papua untuk berkembang, dan mempersulit proses pengesahan kebijakan yang mendukung otonomi. Ini adalah bentuk ketidaksetaraan yang lebih dalam.
Orang Papua mengalami diskriminasi hampir setiap hari, tidak hanya secara verbal tetapi juga melalui media sosial, seperti bullying di dunia maya. Tahun 2016 di Yogyakarta, seorang mahasiswa Papua, Obby Kogoya, juga menjadi korban rasialisme yang berakhir dengan pemenjaraan. Rasialisme terhadap orang Papua bukan hanya sekadar kejadian-kejadian sporadis, tetapi sudah menjadi bagian dari struktur sosial yang lebih besar. Bila kita melihatnya dari perspektif fenomenologis, memang benar bahwa kejadian-kejadian tersebut mencerminkan kenyataan sosial yang ada, namun kita harus melihatnya dalam konteks yang lebih luas dan historis.
2. Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Tidak Tuntas
LIPI menawarkan penyelesaian terhadap pelanggaran HAM, tetapi ini hanya sebatas penanganan kasus-kasus yang terisolasi tanpa melihat akar penyebabnya. Masalahnya, kasus pelanggaran HAM di Indonesia sendiri belum ada penyelesaian yang memadai. Kasus seperti pembunuhan aktivis mahasiswa pada 1998, kasus Munir, dan bahkan penyerangan terhadap Novel Baswedan masih belum terungkap secara tuntas. Apa yang terjadi pada orang Papua adalah gambaran dari ketidakseriusan negara dalam menangani pelanggaran HAM. Misalnya, pelaku pembunuhan terhadap tokoh-tokoh Papua seperti Theys Eluay justru mendapat promosi setelah menjalani hukuman. Penyelesaian pelanggaran HAM ini seharusnya tidak hanya dilihat sebagai respons terhadap kejadian-kejadian tertentu, tetapi harus menyentuh akar penyebabnya, yaitu ketidakadilan struktural yang ada.
3. Kegagalan Pembangunan dan Konsep Kemiskinan
LIPI juga menyoroti kegagalan pembangunan dan kemiskinan di Papua. Namun, definisi kemiskinan yang digunakan sering kali berbasis pada standar Jakarta yang lebih menekankan pada penghasilan finansial. Jika dilihat dari perspektif ini, memang benar bahwa pendapatan orang Papua lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Namun, jika dilihat dari segi pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, orang Papua tidak kekurangan. Masyarakat Papua masih bisa memenuhi kebutuhan makan dengan hasil kebun dan hutan, tanpa harus bergantung sepenuhnya pada uang.
Namun, konsep kemiskinan ini digunakan sebagai alat untuk merendahkan dan memanipulasi keadaan. Pembangunan fisik yang ditawarkan lebih menguntungkan pengusaha, bukan orang Papua itu sendiri. Pembangunan yang terjadi tidak menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya, yaitu ketergantungan orang Papua pada barang-barang konsumsi dari luar yang merusak pola hidup mereka yang berkelanjutan. Oleh karena itu, pembangunan di Papua lebih baik dilakukan dengan cara yang memperhatikan kearifan lokal dan bukan hanya dengan membangun infrastruktur fisik.
4. Status Politik dan Sejarah Papua
Masalah utama yang paling mendasar adalah status politik Papua. Terdapat dua pandangan yang sangat bertolak belakang mengenai integrasi Papua ke dalam Indonesia: bagi orang Papua, itu adalah aneksasi yang ilegal, sedangkan bagi Indonesia itu adalah integrasi yang sah. Persoalan ini masih belum terselesaikan. Meskipun Otonomi Khusus (Otsus) diklaim sebagai solusi damai, namun kenyataannya banyak kewenangan yang dibatasi, seperti hak KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) untuk memverifikasi pelanggaran HAM. Otsus justru semakin membungkam kewenangan Papua dan memaksakan kontrol dari Jakarta.
Lebih dari itu, negara Indonesia terus menutup-nutupi sejarah yang terjadi di Papua, memanipulasi kebenaran, dan membungkam suara-suara yang menuntut keadilan. Pemerintah Indonesia berusaha mengubur penderitaan orang Papua dengan menyebarkan informasi yang menyesatkan melalui media sosial dan mengontrol narasi di dunia internasional. Ini merupakan bentuk penjajahan yang terus berlangsung dalam bentuk yang lebih modern.
Rasisme Sebagai Bentuk Penjajahan
Rasisme terhadap orang Papua bukan hanya soal diskriminasi terhadap warna kulit atau ras, tetapi lebih jauh lagi merupakan bentuk penjajahan yang masih berlangsung. Ketika kita berbicara tentang rasisme, kita berbicara tentang cara pandang yang menganggap orang Papua sebagai ras yang lebih rendah, dan tindakan ini memudahkan penjajahan. Penjajahan yang lebih modern kini menggunakan berbagai strategi untuk mengontrol dan memanipulasi, seperti melalui pemberian kenyamanan tertentu, penciptaan proyek pembangunan yang tidak memberikan manfaat nyata bagi orang Papua, serta mengendalikan kekuasaan politik di Papua.
Selain itu, pembunuhan terhadap tokoh-tokoh Papua yang memperjuangkan hak-hak mereka, seperti yang terjadi pada Theys Eluay dan tokoh lainnya, adalah bagian dari upaya untuk menekan suara-suara protes terhadap ketidakadilan yang terjadi di Papua. Semua ini adalah bagian dari proses penjajahan yang masih berlangsung, meskipun dilakukan dengan cara yang lebih halus dan modern.
Kesimpulan
Rasisme terhadap orang Papua bukan hanya terjadi dalam bentuk diskriminasi sosial dan budaya, tetapi juga dalam bentuk penjajahan yang terus berlangsung melalui kebijakan-kebijakan yang merugikan mereka. Negara Indonesia tidak hanya menutup mata terhadap penderitaan orang Papua, tetapi juga terus-menerus mengendalikan narasi tentang sejarah dan keadilan di Papua. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah Papua, kita tidak hanya perlu mengatasi rasialisme, tetapi juga harus mengubah cara kita memandang dan memperlakukan orang Papua sebagai sesama manusia yang sederajat.