Membela Tanah Air, Tidak Sama dengan Membela Negara: Opini dan analisis Singkat Dengan Paradigma _Abdullah Öcalan

Oleh: Anggenak

Foto: Abdullah Öcalan

Abdullah Öcalan, tokoh revolusioner dari Kurdistan, memberikan kerangka pemikiran yang menantang status quo modernitas kapitalis dan konsep negara-bangsa.

Dalam salah satu gagasannya yang paling mendalam, Öcalan menegaskan bahwa membela tanah air tidaklah sama dengan membela negara.

Tanah air adalah ruang kehidupan yang bersifat ekologis, kultural, dan spiritual, sedangkan negara adalah konstruksi politik yang didesain untuk melayani dominasi elit dan kepentingan kapitalisme. Pemikiran ini memberikan lensa kritis untuk memahami apa yang terjadi di tanah air kita, serta relevan dalam perjuangan melawan eksploitasi kapitalisme global di berbagai belahan dunia.

Hal ini seperti apa yang terjadi di tanah air Papua, kita menyaksikan bagaimana negara-bangsa menjadi alat modernitas kapitalis untuk merampas tanah, budaya, dan kehidupan masyarakat adat mereka. Dengan dalih pembangunan, negara memaksakan logika ekonomi kapitalis yang menghancurkan ekosistem lokal dan struktur sosial demokratis yang telah berjalan selama berabad-abad sebelum negara. Fenomena ini bukanlah hal baru. Seperti yang terjadi pada masyarakat agraris Betawi, proses yang disebut pembangunan modernitas, sering kali tidak lain adalah sebuah penghancuran corak kehidupan tradisional yang berbasis pada kehidupan komunal, harmoni, ekologis dan subsistensi. Dengan demikian, pengalaman yang terjadi seperti pada masyarakat Betawi dan Papua adalah contoh nyata dari pola penghancuran sistematis yang menjadi inti dari kapitalisme global.

Namun, untuk memahami sepenuhnya bagaimana sistem ini bekerja, kita harus melihat lebih jauh ke dalam konsep negara-bangsa itu sendiri. Öcalan berpendapat bahwa negara-bangsa adalah alat bagi kelas kapitalis yang bertujuan untuk homogenisasi identitas, penguasaan wilayah, dan pengendalian sumber daya. Negara-bangsa memaksakan batas-batas wilayah yang kaku dan identitas nasional yang seragam, yang semuanya dirancang untuk memperkuat kekuasaan elit ekonomi dan politik. Dalam prosesnya, negara-bangsa menghancurkan keanekaragaman budaya, merusak memisahkan hubungan masyarakat dengan alam, dan menciptakan konflik sosial yang berakar pada etnis, agama, atau kelas.

Patriarki juga menjadi pondasi utama dari struktur negara-bangsa dan modernitas kapitalis. Öcalan melihat patriarki sebagai sistem dominasi tertua yang menjadi basis bagi semua bentuk penindasan, termasuk kapitalisme dan negara-bangsa. Patriarki menciptakan hierarki sosial yang menempatkan kekuasaan di atas kehidupan dan keuntungan di atas kesejahteraan manusia serta lingkungan. Di Papua, patriarki bekerja melalui logika eksploitasi sumber daya alam yang tanpa henti, menempatkan keuntungan ekonomi di atas keberlanjutan ekologi dan hak masyarakat adat.

Kaitannya dengan Papua menjadi lebih jelas ketika kita melihat bagaimana militerisasi yang menjadi salah satu instrumen kekerasan negara digunakan sebagai alat untuk melindungi kepentingan kapitalisme. Kehadiran militer di Papua bukan hanya untuk membangun ilusi mempertahankan keamanan nasional, tetapi sejatinya untuk memastikan kelancaran eksploitasi sumber daya oleh korporasi besar seperti Freeport. Bisnis keamanan militer menjadi bagian integral dari kapitalisme di Papua, di mana konflik yang terus dipertahankan menciptakan peluang ekonomi bagi elit politik dan militer. Dalam skenario ini, masyarakat adat Papua tidak hanya menjadi korban eksploitasi sumber daya, tetapi juga menjadi target (kambing hitam) kekerasan sistematis yang bertujuan untuk mempertahankan status quo.

Dalam menghadapi situasi ini, gagasan Öcalan tentang federasi antar suku dan komunitas yang demokratis memberikan alternatif signifikan. Federasi ini didasarkan pada prinsip demokrasi langsung, otonomi lokal, dan solidaritas kolektif. Dalam konteks masyarakat adat, federasi antar suku dapat menjadi alat untuk melindungi tanah dan budaya mereka dari ancaman modernitas kapitalis. Dengan membangun struktur pemerintahan lokal yang otonom, masyarakat adat dapat mengelola sumber daya mereka sendiri berdasarkan nilai-nilai tradisional dan kebutuhan kolektif, bukan berdasarkan logika pasar. 

Di luar gagasan teoritis ini, penting juga bagi kaum kiri dan anarkis untuk merefleksikan kembali cara mereka mempraktikkan solidaritas. Selama ini, banyak gerakan kiri dan anarkis, terutama yang berhaluan pada paradigma Barat, terjebak dalam bahaya orientalisme, yaitu memandang masyarakat adat atau komunitas non-Barat, dalam artian sebagai “yang lain” yang eksotis dan membutuhkan penyelamatan. Perspektif ini, meskipun sering kali tidak disadari, justru memperkuat hierarki global yang diciptakan oleh kolonialisme dan kapitalisme. Solidaritas yang bersifat patronistik dan simbolik tidak hanya gagal mengatasi akar masalah, tetapi juga berisiko menciptakan ketergantungan baru.

Kaum kiri dan anarkis harus mengubah perspektif mereka tentang solidaritas dengan menempatkan nilai-nilai kehidupan di atas sekadar simbolisme politik. Solidaritas harus bersifat horizontal, dimana masyarakat adat dan komunitas lokal dipandang sebagai subjek yang memiliki peran penuh dan sebagai garda terdepan, bukan sebagai objek yang membutuhkan penyelamatan oleh segelintir pelopor yang beresiko tumbuh menjadi elit. Alih-alih hanya membakar semangat perlawanan melalui propaganda simbolik, gerakan solidaritas harus mampu menciptakan ruang-ruang kolaborasi yang konkret dan berkelanjutan. Ini berarti mendukung inisiatif lokal, memperkuat jaringan komunitas, dan berbagi sumber daya dengan cara yang adil dan saling menghormati satu sama lain.

Sebagai contoh, pengalaman Situasionist International dalam pengorganisiran Paris 1968 memberikan pelajaran penting tentang bagaimana strategi taktis dapat dikembangkan untuk menciptakan perubahan sosial yang nyata. Mereka tidak hanya berfokus pada kritik terhadap kapitalisme, tetapi juga menciptakan ruang-ruang diskusi dan aksi yang memungkinkan individu untuk membangun kesadaran kolektif dan merancang alternatif. Pendekatan ini dapat diadaptasi untuk mendukung perjuangan di Papua, dengan fokus pada membangun kesadaran kritis, menciptakan alternatif ekonomi berbasis komunitas, dan memperkuat solidaritas global yang mendukung perjuangan lokal.

Membela tanah air, seperti yang ditekankan Öcalan, adalah membela kehidupan itu sendiri, melawan sistem yang merampas segalanya demi keuntungan segelintir elit. Dalam konteks Papua, ini berarti melawan bisnis keamanan militer, eksploitasi sumber daya, dan logika kapitalisme yang merusak. Namun, perjuangan ini tidak dapat dilakukan sendirian. Diperlukan solidaritas yang tulus, hubungan yang saling menghormati, dan komitmen untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.

Dengan memahami gagasan ini, kita harus berani mengkritik ulang gagasan kita, untuk tidak hanya melihat perjuangan seperti yang terjadi di Papua sebagai perjuangan lokal, tetapi sebagai bagian dari perjuangan global melawan kapitalisme dan dominasi atas alam. Membela tanah air adalah membela hak untuk hidup dengan cara yang lebih memanusiakan, dimana kehidupan masyarakat dan ekologi lebih diutamakan daripada keuntungan ekonomi. Dalam solidaritas dan kerja bersama, kita dapat membangun dunia dimana tanah air adalah ruang kehidupan yang benar-benar milik kita semua, bukan milik negara atau kapital.

#FreeAbdullahOcalan

#PapuanLivesMatter

More From Author

Orang Papua dan Mitos Pribumi Pemalas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *